Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Managing Director PEPS: 'Skandal Keuangan dan Korupsi Merajalela di Pemerintahan Jokowi!'




Skandal dugaan transaksi gelap hingga Rp 300 triliun yang terakumulasi sejak tahun 2009 di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuktikan lemahnya pengawasan di kementerian.

"Kementerian Keuangan tidak menghargai mekanisme pengawasan eksternal sekaligus enggan melaksanakan sistem pengawasan internal," kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/3).

Ia mendorong proses investigasi dan penyelidikan oleh tim independen secara transparan.

Apalagi skandal keuangan ini disebut terkait 460 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di jajaran Kemenkeu.

Tak hanya di Kemenkeu, Anthony juga tidak menutup mata dugaan manipulasi proyek dan transaksi keuangan di sejumlah kementerian lain.

"Skandal keuangan dan korupsi yang semakin merajalela di pemerintahan Jokowi ini membuktikan bahwa gagalnya Pak Mahfud MD sebagai Menkopolhukam dalam mengawal penegakan hukum yang memberikan efek jera kepada para pelakunya," tandas Anthony.

Atas dasar itu, ia sepakat dengan keterlibatan KPK, Kejaksaan Agung, dan PPATK mengusut tuntas skandal keuangan dan korupsi di lingkungan kementerian.

Meski di sisi lain, ia melihat belum ada gelagat dari Presiden Joko Widodo melakukan pembenahan di jajaran kabinetnya.

"Nyatanya Presiden Jokowi seolah tidak berdaya untuk melakukan pergantian di kabinetnya," tutup Anthony. 

'Adu Cepat Korupsi dan Kemiskinan di Era Jokowi'

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut pemerintahan Jokowi gagal total (gatot) dalam 2 hal krusial.

Antara korupsi dan kemiskinan saling berkejaran, pemerintah pun tak mampu menghentikannya.

“Indonesia berduka, pemerintah gagal membuat rakyat sejahtera, pemerintah gagal memberantas korupsi, pemerintah gagal memberantas kemiskinan. Indonesia menangis, melihat rakyat miskin semakin miskin, melihat rakyat miskin semakin bertambah banyak,” paparnya, Jakarta, Jumat (10/2/2023).

Indonesia menangis, kata dia, melihat oligarki semakin merajalela, semakin kaya dan makmur, menghisap darah rakyat bagaikan lintah.

Indonesia menangis, melihat koruptor semakin ganas dan tidak terkendali, merampas hak rakyat miskin, memiskinkan rakyat miskin.

“Indeks persepsi korupsi turun tajam, dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Luar biasa. Penurunan skor yang sangat tajam mencerminkan pejabat Indonesia semakin korup, semakin tidak manusiawi, semakin ganas merampok uang rakyat, bersama oligarki.

Peringkat Indonesia sebagai negara terkorup di dunia naik dari posisi 85 (2019) menjadi posisi 110 (2022), dari 180 negara: Semakin tinggi peringkat, semakin korup,” bebernya.

Memburuknya tingkat korupsi Indonesia ini, kata dia, sudah bisa diperkirakan sebelumnya.

Berawal dari kesepakatan pemerintah dan DPR untuk melemahkan KPK, memangkas independensi KPK, mematisurikan KPK, dengan revisi UU KPK pada akhir 2019.

Tidak heran korupsi kemudian merajalela dan menjadi tidak terkendali.

Pandemi Covid-19 yang mulai terdeteksi pada awal Maret 2020 dijadikan kesempatan dalam kesempitan.

Memanfaatkan pandemi, pemerintah menerbitkan Perppu “Corona” dan UU yang terindikasi melanggar konstitusi.

“Pandemi dijadikan alasan untuk “cetak uang”, atas nama Pengendalian Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), dan mendongkrak defisit anggaran yang melonjak tajam, mencapai Rp2.200 triliun selama 2020-2022,” ungkap Anthony.

Pada praktiknya, kata Anthony, pemulihan ekonomi nasional menjadi pemulihan dan peningkatan ekonomi oligarki dan pejabat koruptor.

Paket bantuan sosial merupakan sasaran empuk korupsi. Dana pengendalian Covid menjadi bancakan.

Harga test PCR bagaikan harga rentenir lintah darat. Koruptor berpesta pora.

Di lain sisi, kehidupan rakyat semakin sulit, terhimpit kenaikan harga yang melambung tinggi, harga pangan, harga BBM, tarif listrik, biaya transportasi, semua naik, bahkan pajak juga naik. Semua ini membuat rakyat semakin miskin.

“Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin bertambah 200 ribu orang dalam enam bulan, terhitung Maret-September 2022. Persentase penduduk miskin juga naik, dari 9,54 persen menjadi 9,57 persen sepanjang periode tersebut,” kata Anthony.

Selama periode 2019-2022, periode korupsi tidak terkendali, dengan indeks turun 6 poin menjadi 34, jumlah rakyat miskin bertambah 1,57 juta orang, dari 24,79 juta orang pada September 2019 menjadi 26,36 juta orang pada September 2022.

Dalam persentase, naik dari 9,22 persen pada 2019 menjadi 9,57 persen pada 2022.

“Artinya, pemerintah gagal total mengatasi korupsi dan kemiskinan,” pungkasnya.


Sumber Berita / Artikel Asli : rmol

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved