Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar meminta Universitas Gadjah Mada atau UGM dan semua sivitas akademikanya melakukan refleksi diri.
Sebab sebagai universitas yang melahirkan Joko Widodo atau Jokowi sebagai alumni, UGM dinilai mengambil posisi sebagai pendukungnya saat menjadi Presiden dengan segala keinginannya.
“Kadar keimanan UGM kepada Pak Jokowi ketinggian. Di mana UGM ketika UU KPK dihancurkan? Di mana UGM ketika UU Cipta Kerja dibuat serampangan? Di mana UGM ketika UU Minerba dihancurkan?” ujar Zainal saat menjadi salah satu pemantik diskusi dalam Mimbar Akademik: Menjaga Kemurnian Demokrasi di Ruang Senat UGM sebelum acara pembacaan petisi di Balairung UGM, Rabu, 31 Januari 2024.
Sementara banyak ahli yang bicara sistem presidensiil menyatakan, bahwa jika kekuasan, dalam hal ini adalah presiden, apabila didukung terlalu kuat, maka godaan otoriternya menjadi sangat tinggi.
“Itu sangat berbahaya dalam sistem presidensil. Dan apa yang terjadi sekarang menurut saya adalah buah dari cara kami memperlakukan (Jokowi) selama ini,” kata Zainal.
Sementara untuk melakukan ‘pertobatan’, Zainal menawarkan tiga langkah terkait posisi dan sikap UGM di hadapan kekuasaan.
Pertama, UGM harus melakukan refleksi. Kedua, UGM harus mengirim sinyal kuat, keras dan tepat atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dengan tak lagi sekadar menyampaikan imbauan kepada Presiden.
Semisal, terkait netralitas KPU, aparat TNI dan Polri, maupun Presiden. Zainal minta UGM untuk bertindak tegas kepada Jokowi.
“Jangan lagi ganggu aparat TNI dan Polri. UU mengatakan mereka netral. Jadi biarkan mereka netral, jangan dipolitisasi. Bansos jangan dipolitisasi, itu uang rakyat. UGM harus ada penekanan, Pak Jokowi, Anda lahir dari nuansa UGM, Pancasila dan demokrasi. Bertindaklah secara Pancasila dan demokrasi. Kalau tidak, kami akan melawan,” ujar Zainal dengan nada tegas.
Dalam diskusi itu mantan Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono mengatakan bahwa jati diri UGM adalah sebagai universitas nasional, perjuangan, Pancasila, kerakyatan dan pusat kebudayaan. Sementara nilai-nilai dasar UGM meliputi nilai-nilai Pancasila, keilmuan, dan kebudayaan.
Sedangkan apabila sekadar imbauan, sudah banyak dilakukan. Persoalannya, keinginan bersikap netral dari para pihak tersebut dinilai Zainal, kurang.
“Imbauan itu tidak akan didengar. Imbauan seperti menunggu godot, berharap Presiden minta maaf kepada rakyat Indonesia dan bertobat,” ucap Zainal.
Ketiga, dalam Pemilihan Presiden 2024 ini, UGM harus mengerahkan sivitas akademikanya untuk menjadi pemantau Pemilu.
Seperti mengerahkan mahasiswa Kuiah Kerja Nyata (KKN), maupun para alumni yang bergabung dalam Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama).
“Karena gejala kecurangaan (pilpres) tinggi sekali,” imbuh Zainal.
Keempat, posisi UGM harus kembali di tengah. Artinya, saat berhadapan dengan kekuasaan, UGM sebagai universitas harus tetap dalam wilayah kritis, intelektual, ilmiah, mengedepankan nilai-nilai yang diakui negara. Tidak pragmatis mendukung paslon.
“Siapa pun yang terpilih jadi presiden, UGM harus di tengah. Supaya nanti tidak wagu dan tidak lucu. Dulu UGM mendukung, tiba-tiba sekarang teriak demokrasi,” kata Zainal.
Sementara itu, dosen Ilmu Politik UGM, Abdul Gaffar Karim mengajak kampus itu untuk kembali pada civil society. Bahwa tugas UGM bukan membenarkan kekuasaan, tetapi mengawasi kekuasaan.
Sebab demokrasi tak bisa diberikan kepada penguasa. Demokrasi bisa hidup apabila diawasi oleh rakyat.
“Sementara dosa UGM hampir 10 tahun ini adalah menghilangkan oposisi di Indonesia. UGM mendukung kekuasaan yang tidak terkontrol. Jadi yang harus dilakukan, UGM berhenti membenarkan kekuasaan, siapa pun itu. Meskipun nanti Presiden adalah alumni UGM,” ujar Gaffar.
Adapun Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor yang pernah menyerukan Jokowi sebagai alumni UGM yang memalukan pun menyatakan syukur atas gelaran forum Mimbar Akademik itu. Forum yang membuahkan Petisi Bulaksumur untuk mengkritik pemerintahan Jokowi.
“Saya melihat reinkarnasi Amangkurat I (Raja Mataram yang haus kekuasaan) dalam diri Jokowi. Dengan segala tingkat dan perilakunya, Jokowi tampaknya sangat takut kehilangan kekuasaan. Tapi Gadjah Mada (UGM) akhirnya bangkit, nglilir (terbangun) untuk melawan. Terima kasih,” kata Gielbran.