Oleh: H. Agus Sutisna - Dosen dan Peneliti
“You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time.”
Ungkapan ini pantas dimention kepada Jokowi. Bahwa pada akhirnya rangkaian kebohongan dan inkonsistensi akut yang dilakukannya pasti akan menemui jalan akhir.
Negeri ini memiliki masih banyak orang yang berakal waras, yang sudah selesai dengan dirinya, yang ketulusan cintaannya pada bangsa dan negara sudah mereka buktikan melalui pengabdian kecendekiaannya.
Kewarasan itu, dalam tiga hari terakhir mengemuka dari Yogya, dan mungkin dari kampus lain di pelosok tanah air.
Dimulai dari UGM, disusul oleh UII. Dua kampus besar yang telah melahirkan banyak intelektual par excellent.
Hakul yakin, hari ini dan besok, gelombang kewarasan ini akan mengarus deras dari kampus-kampus, juga dari entitas-etnitas para pecinta negeri di berbagai daerah.
Pseudo Election
Seperti yang saya tulis di artikel beberapa hari lalu, “Salam 4 Jari…”, keresahan publik memang sudah meluas di tengah perhelatan Pemilu yang makin kotor dengan kecurangan, intimidasi, pemaksaan kehendak, manuver-manuver nir-adab tak tahu malu yang dilakukan Jokowi dan kroni-kroninya di kubu Prabowo-Gibran.
Keresahan itu mendesak untuk disikapi, disambut dan diterjemahkan kedalam gerakan nyata terutama karena ia tidak lagi semata-mata terkait urusan menang-kalah Pemilu.
Lebih luas dari itu, dengan berbagai pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan sejak awal, Pemilu kali ini menjadi pseudo-election, Pemilu semu.
Pemilu sejatinya digelar sekadar upaya melanggengkan kekuasaan Jokowi sekaligus menjaga kepentingan dan ambisi kroni-kroni elit di sekelilingnya setelah manuver perpanjangan jabatan dan penundaan Pemilu ditolak publik dan gagal tempo hari.
Azas-azas Pemilu, khususnya Jujur dan Adil dihempaskan ke tong sampah. Hukum dan regulasi yang mendasarinya ditelikung, dimanipulasi.
Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK), the guardian of constitution sekaligus pengadil tertinggi urusan sengketa elektoral dirusak marwahnya melalui sang Paman yang urat malunya sudah putus. Nir-adab!
Pseudo election adalah kajahatan terhadap substansi demokrasi, pembangkangan terhadap amanah konstitusi.
Pemenang kontestasi yang dihasilkan melalui Pemilu semu dengan sendirinya tidak legitimate secara politik.
Kekuasaan bisa saja memaksakan, pemenang Pemilu semu ditetapkan resmi, lalu dilantik. Tapi, alih-alih menerima, publik pasti bakal melawan.
Dalam situasi perlawanan dan pembangkangan publik yang meluas, rezim manapun takkan bisa bertahan. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!
Memang, resikonya pasti mahal. Instabilitas politik keamanan dipertaruhkan, konflik horisontal bisa meledak dimana-mana. Jika sudah demikian, lalu apa yang bisa diperbuat rezim hasil Pemilu semu?
Sadar atau Menunggu Turbulensi
Saya kira itulah yang sesungguhnya tidak dikehendaki para begawan dan cendekiawan dari UGM dan UII, juga dari banyak orang-orang waras di berbagai tempat.
Mereka tidak rela negeri ini jadi rusak, rakyatnya saling bertengkar karena dipicu oleh ambisi kuasa segelintir elit.
Untuk itu, mereka memberi jalan, sederhana. Dari UGM melalui “Petisi Bulaksumur” yang dibacakan Prof. Koentjoro, cukup lakukan dua pointer ini.
Pertama, agar Jokowi dan semua penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik di belakangnya segeralah kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Kedua, agar DPR dan MPR segera ambil sikap dan langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi elektoral yang merupakan manifestasi demokrasi Pancasila untuk memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Dari UII melalui pernyataan sikap “Indonesia Darurat Kenegarawanan” yang dibacakan langsung oleh Rektornya, Prof. Fathul Wahid, cukup tiga pointer ini.
Pertama, agar Jokowi segera kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden.
Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok.
Kedua, agar Jokowi dan semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.
Ketiga, agar DPR dan DPD agar aktif melakukan fungsi pengawasan, memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa.
Sekali lagi, semua seruan itu adalah suara moral dari orang-orang yang tidak memiliki kepentingan politik praktis dan partisan dalam Pemilu. Suara yang juga mewakili keresahan publik lantaran rasa cintanya pada bangsa dan negara ini.
Mumpung belum terlambat, sudah semestinya Jokowi dan para kroninya mendengar seruan moral ini dan melaksanakannya, jika tidak ingin melihat negara ini, cepat atau lambat mengalami turbulensi! ***