‘Piye, enak zamanku tho?’ Meme dengan gambar mantan Presiden Soeharto dengan senyum khas itu berseliweran di linimasa media sosial. Gambar ini pernah viral pada masanya dan banyak mengundang kontroversi di kalangan warganet.
Di satu sisi, netizen ‘merindukan’ masa-masa ekonomi stabil dengan pergerakan harga bahan pokok yang landai. Di sisi lain, warganet juga mengingatkan rekam jejak presiden yang diberi gelar ‘Bapak Pembangunan’ ini sebagai pemerintahan yang otoriter.
Postingan seorang kreator video @agusjuliand di Instagram seolah menjawab perdebatan itu. “Di zaman presiden siapa hidup lebih enak?” tanya sang kreator konten. “Kalau dulu lebih enak, zaman Pak Harto. Alasannya apa-apa murah,” begitu jawab seorang bapak petani paruh baya. Dari sembilan orang yang ditanyai, delapan orang menjawab era kepemimpinan Soeharto lebih enak dan baik, serta satu orang menjawab era Susilo Bambang Yudhoyono lebih enak.
Tentu konten ini tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa baik masing-masing kinerja pemerintah di tengah rakyatnya. Apalagi, responden yang ditanyai dari kalangan baby boomer yang tentu telah melewati enam masa kepemimpinan presiden.
“Salah tanya mas. Jangan tanya sama yang tua-tua, tanya sama generasi milenial atau gen Z, masa depan mereka masih panjang,” begitu komentar salah satu netizen pada postingan tersebut.
Lantas, apa sebaiknya yang menjadi tolok ukur kepemimpinan seorang presiden untuk mensejahterakan rakyatnya? Salah satu yang bisa dijadikan indikator adalah angka kemiskinan, yang rutin dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Terbaru, indikator tingkat kemiskinan mengalami kenaikan.
Tercatat, tingkat kemiskinan September 2022 sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang. Tingkat kemiskinan ini naik tipis dari Maret 2022 (9,54%) dan lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 (9,71%). Namun, angka terbaru ini lebih tinggi dibandingkan September 2019 yang sebesar 9,22%, dengan jumlah penduduk miskin 24,78 juta orang.
Angka kemiskinan 2010-2022
Dengan garis kemiskinan yang sama, kemiskinan di Malaysia hanya 0,4% pada 2015. “Artinya, tingkat kemiskinan Malaysia saat ini kemungkinan besar sudah nol. Kemiskinan Thailand juga sangat rendah, hanya 0,7% pada 2020,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyoroti pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Ini menjadi penyebab terbesar angka kemiskinan naik.
“Pertumbuhan ekonomi tidak men-direct masyarakat miskin mendapat pekerjaan yang layak dan tidak ada multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bisa saja ketika ekonomi tumbuh lapangan kerja tercipta, kue ekonomi bertebaran, namun mereka tidak terakses (warga miskin),” papar Tauhid kepada Alinea.id, Kamis (16/2).
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi 2022 yang mencapai 5,31% pun tidak terlampau istimewa alias lebih rendah dari era SBY yang pernah menyentuh 6,5% pada 2011. Hal ini otomatis berimbas pada angka kemiskinan yang tidak bisa turun drastis.
“Ditambah ada pandemi 2020, siapapun (presidennya) berat menanggulangi kemiskinan. Pandemi ini yang buat sulit kemiskinan turun drastis,” tambahnya.
Hal ini kian diperparah oleh laju inflasi year on year yang naik signifikan di angka 5%. Kenaikan harga bahan pokok seperti beras, terigu, cabai, dan lain-lain turut mendorong garis kemiskinan naik. “Orang miskin yang relatif pendapatannya tetap akan berada di bawah level garis kemiskinan tersebut karena perhitungannya meningkat gara-gara inflasi ini,” tambahnya.
Ketika inflasi naik cukup tinggi, di sisi lain penghasilan masyarakat di kelompok sekitar garis kemiskinan tidak naik signifikan, yang otomatis membuat jumlah penduduk miskin naik. Seperti yang terjadi pada periode Maret hingga September 2022 saat jumlah penduduk miskin naik 200 ribu orang. Pun demikian dengan periode 2019-2022 (3 tahun), di mana jumlah penduduk miskin naik 1,57 juta orang.
Meskipun ada bantuan sosial, menurut Tauhid, itu kurang mengangkat masyarakat keluar dari jurang kemiskinan. Dia menilai, kucuran bansos yang diterima masyarakat miskin masih kurang besar sehingga kurang berdampak. Belum lagi program bansos era Jokowi tidak gayung bersambut. Artinya, masyarakat miskin tidak bisa menjadikan bansos sebagai ‘kail’ untuk hidup lebih baik.
Ditambah lagi, daftar penerima bansos juga masih luas: masyarakat katagori mampu tetap bisa menerima. “Misal di program-program bansos UMKM, yang bisa akses bukan masyarakat miskin, tapi masyarakat yang punya skill dan berdagang, kurang tepat sasaran,” kritiknya.
Karenanya, dia menyarankan perlu ada perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dus, bansos yang tidak tepat sasaran bisa ditekan dan dialihkan pada bansos khusus 10% masyarakat terbawah. “Kalau semua dibagikan rata enggak akan punya fungsi atau nilai,” ungkap Tauhid.
Apalagi, lanjutnya, anggaran kemiskinan cukup fantastis yakni mencapai Rp460 triliun atau hampir Rp500 triliun. Sayangnya, pemerintah tidak punya prioritas. “Harusnya kalau dibagikan secara cash saja bisa mengurangi kemiskinan paling tidak ada koordinasi antar K/L (kementerian/lembaga),” sarannya.
Harapannya, bantuanuang tunai kepada masyarakat terbawah mampu menjadi ‘kail’ untuk meningkatkan taraf hidup sehingga keluar dari jurang kemiskinan. Termasuk juga dengan memperbesar akses masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan baik di sektor perindustrian, pertanian, maupun pelatihan vokasional.
Rubuhnya sektor pertanian dan manufaktur
Tauhid juga mencatat sektor-sektor ekonomi yang tumbuh tidak mampu menyerap tenaga kerja maksimal. Ini pada akhirnya tidak bisa mengurangi kemiskinan. Dia menyebutkan sektor yang paling dominan tumbuh adalah sektor tersier, yakni telekomunikasi dan jasa.
“Itu sektor-sektor yang sulit diakses masyarakat miskin, mereka pada umumnya di sektor perindustrian dan pertanian, yang kita tahu pertumbuhannya paling rendah, paling tinggi 4% karena sektor pertanian enggak diprioritaskan,” bebernya.
Sementara itu, adanya KUR (Kredit Usaha Rakyat) juga belum berdampak bagi masyarakat petani. "KUR memang digunakan untuk petani, tapi petani secara umum, yang mendapatkan KUR sebagian besar bukan petani miskin. Itu problemnya. Kedua, meski dibantu KUR tapi harga pangan relatif rendah, di komoditas pangan, terutama padi, trennya harganya relatif turun,” papar Tauhid.
Di sisi lain, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF Rizal Taufikurahman menyoroti bahwa pascapandemi Indonesia justru mengalami windfall profit dengan adanya krisis energi dan pangan.
“Problemnya pertumbuhan kita tinggi tetapi jumlah kemiskinan naik. Padahal yang harus dijaga angka kemiskinan dan inflasi,” kata dosen Universitas Trilogi ini pada Diskusi Publik dan Pers “Resiliensi Ekonomi Nasional di Tengah Ancaman Resesi Global” pada Rabu (25/1) lalu.
Angka kemiskinan dan inflasi yang naik membuat kualitas pertumbuhan ekonomi makin terdegradasi. Rizal pun menumpukkan harapan pada sektor investasi yang bisa menyerap tenaga kerja lokal, terlebih pada Penanaman Modal Asing (PMA).
“Kadang masuknya (investasi) enggak riil tapi ke sektor keuangan,” cetusnya.
Pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha (% year on year)
Karena itu, Rizal menilai pentingnya Indonesia memperkuat hilirisasi agar sektor manufaktur kembali berjaya. Pasalnya, sektor manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja pertumbuhannya sangat memprihatinkan yakni di bawah 4%. Tepatnya, tahun 2019 sebesar 3,8% lalu 2020 minus 2,93%, dan 2021 kembali positif jadi 3,39%.
Menurutnya, hilirisasi yang akan menciptakan nilai tambah bisa memiliki multiplier effect jika tenaga kerja yang direkrut adalah dari negeri sendiri. “Karena yang paling besar rekrut adalah sektor industri, dibanding keuangan, pertambangan dan jasa,” tambahnya.