Jakarta - Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai tensi politik di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) makin panas usai para calon Edy Rahmayadi dan Bobby Nasution saling berbalas serangan. Ady menganalogikannya sebagai 'perang terbuka' antara Bobby dan Edy.
"Saya kira ini adalah perang terbuka antara Bobby Nasution dan Edy Rahmayadi, saya kita memang tensi Pilkada Sumut ini memanas karena antar kandidat saling kritik secara terbuka, berbalas pantun politik yang ini saling menegasikan satu sama yang lain," kata Adi kepada wartawan, Senin (29/9/2024).
Peristiwa Bobby dan Edy saling berbalas kritik ini mulai panas saat pengundian nomor urut Pilkada Sumut Senin (23/9). Bobby mulanya menyinggung soal jalan rusak dan menyoroti proyek jalan Rp 2,7 triliun di era Gubernur Edy Rahmayadi. Edy membalas Bobby sambil membawa-bawa Mulyono.
Adi pun menganalisis terkait pernyataan Bobby yang menyindir soal jalan rusak. Menurutnya, Bobby ingin menyorot program yang dinilai tidak sukses di era Edy.
"Bobby menilai waktu jadi Gubernur di Sumut tidak sukses karena begitu banyak jalan yang rusak, infrastruktur yang tidak maksimal padahal APBD di Sumut cukup luar biasa, tapi Edy Rahmayadi tidak tinggal diam berbalik menyerang terbuka Bobby Nasution bahwa jalanan yang rusak itu bukan proyek Gubernur Sumut Edy Rahmayadi saat itu tapi adalah proyeknya Jokowi yang gagal dan tidak tuntas, bahkan Edy Rahamayadi menyebut itu adalah kerjaan Mulyono," kata Adi.
Adi menyebut 'Mulyono' akhir-akhir ini sering digunakan untuk mencemooh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Adi, Bobby juga menggunakan kata Mulyono itu untuk menyerang balik Edy.
"Nah kata-kata Mulyono itu belakangan digunakan untuk mencemooh, mem-bully dan men-downgrade Jokowi sebagai pemimpin yang dinilai tidak sukses, sebagai pemimpin yang jauh panggang dari harapan, tapi sekali lagi pernyataan Edy dibalas secara terbuka kembali oleh Bobby Nasution bahwa Bobby adalah anak mantu dari Mulyono," jelasnya.
"Pernyataan Bobby ini sebenarnya untuk memberikan serangan balik kepada Edy Rahmayadi bahwa Bobby sebagai anak mantu Mulyono adalah kandidat gubernur yang siap mengalahkan Edy Rahmayadi nantinya di Pilgub Sumut," imbuhnya.
Menurut Adi, perang terbuka Bobby vs Edy ini akan berlangsung jelang pemilihan. Kedua belah pihak dinilai akan saling membuka keburukan rivalnya.
"Ini bagian dari perang terbuka antara Bobby dan Edy Rahmayadi. Jadi segala keburukan masing-masing calon pastinya ke depan akan saling diumbar dan saling menyudutkan, yang penting sekalipun saling menyudutkan hal-hal yang disampaikan harus terukur, rasional dan sesuai dengan fakta-fakta. Karena memang esensi Pilkada itu adalah persaingan. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi pemilih di Sumut," kata Ady.
Lalu, apakah perang terbuka Bobby Vs Edy ini akan mempengaruhi pemilih? Menurut Adi, itu tergantung seberapa kuat masing-masing pihak menjabarkan data dan fakta saat kampanye.
"Kalau Bobby bisa menunjukkan kepada pemilih di Sumut bahwa Edy Rahmayadi itu adalah gubernur yang gagal membangun infrastruktur ya saya kira Bobby yang akan mendapatkan simpati, karena Bobby dinilai sosok punya komitmen untuk membangun Sumut dan dikaitkan dengan menantu Jokowi yang dinilai sukses membangun infrastruktur," kata dia.
Sebaliknya, kata Adi, jika pihak Edy mampu menunjukkan bahwa jalan rusak itu adalah jalan proyek nasional presiden Jokowi, maka itu bisa menjadi serangan balik untuk Bobby.
"Kalau yang berkampanye secara masif menunjukkan fakta-fakta bahwa rusaknya jalan infrastruktur yang hancur dan tak maksimal di Sumut itu karena Jokowi, misalnya, saya kira itu memang agak merugikan untuk Bobby Nasution, karena Bobby ini dinilai sosok yang terasosiasi dengan Jokowi. Oleh karena itu kuat-kuatan menyodorkan fakta soal siapa yang menjadi biang kerok infrastruktur rusak di Sumut, itu adalah kuncinya," jelasnya.
Namun pada akhirnya, kata Adi, pemilih akan menentukan pilihannya ketika calon datang secara langsung dan memberikan sesuatu yang konkret.
"Tapi sekali lagi segmentasi pemilih yang rasional melihat kinerja atau rekam jejak itu tidak banyak ya sekitar 15-20%, selebihnya pemilih itu ya tergantung dengan sentuhan akhir, yaitu para calon mendatangi mereka, berdialog dengan mereka dan memberikan sesuatu yang konkret, semacam buah tangan seperti sembako, oleh-oleh, bansos dan seterusnya, itu yang secara dominan mempengaruhi pilihan politik pemilih," jelasnya.