Penulis: Ali Syarief Fusilatnews
“Sayonara Mulyono – Semoga Tidak Jumpa Dengan Modelmu,” begitu bunyi penggalan lirik sebuah lagu yang mungkin tidak banyak dikenal, tetapi memiliki sentimen kuat yang mencerminkan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Dengan gaya dan irama yang modern, lagu ini menggambarkan perasaan frustasi dan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya sebuah ungkapan penyesalan, tetapi juga sebuah simbol dari rasa sakit yang dirasakan rakyat terhadap pemerintahan yang akan segera berakhir.
Jarang sekali dalam sejarah politik Indonesia, seorang presiden menghadapi masa akhir jabatannya dengan sentimen negatif yang begitu tinggi. Bukan hanya sekedar menanti pergantian kekuasaan, tetapi juga muncul desakan untuk menyeret Jokowi ke meja hijau, bahkan beberapa pihak ekstrim menyerukan hukuman berat. Ini menjadi contoh yang sangat nyata bahwa ketika seorang pemimpin kehilangan kepercayaan rakyat, dampaknya akan sangat besar dan pahit.
Kasus Jokowi ini memberikan pelajaran penting bagi para pemimpin masa depan. Ketika seseorang berada di puncak kekuasaan, ada tiga hal yang sangat penting: kompetensi, prestasi, dan integritas. Ketiga aspek ini adalah pilar utama dalam mempertahankan legitimasi seorang pemimpin di mata rakyatnya.
Kompetensi adalah kemampuan untuk memimpin dan membuat keputusan yang tepat. Tanpa kompetensi, seorang pemimpin tidak akan mampu menavigasi tantangan-tantangan yang muncul selama masa jabatannya.
Prestasi adalah bukti nyata dari pencapaian yang dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terkait erat dengan proyek-proyek yang berhasil diwujudkan, reformasi yang diterapkan, serta perubahan positif yang dihadirkan bagi kehidupan rakyat.
Integritas adalah fondasi moral dari seorang pemimpin. Sehebat apapun prestasi yang dicapai, tanpa integritas, semuanya akan hancur. Integritas adalah tentang honesty, transparency, and accountability – kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketika ketiga hal ini diabaikan, seperti yang dituduhkan pada pemerintahan Jokowi dengan isu fake diploma, kebijakan yang tidak populis, dan kegagalan dalam proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN), hasilnya adalah kehancuran kepercayaan publik. Trust atau kepercayaan, sekali hilang, sangat sulit untuk diperbaiki, dan inilah yang dirasakan oleh Jokowi di hari-hari menjelang akhir masa jabatannya.
Bagi siapa saja yang ingin menjadi pemimpin, pelajaran ini sangat berharga. Menipu rakyat, menunjukkan arogansi, dan mengabaikan tanggung jawab moral hanya akan membawa pada kehancuran. Di era sekarang, masyarakat lebih kritis, lebih melek politik, dan lebih berani menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Sebagai penutup, ada istilah yang relevan dalam situasi ini, yaitu “the end justifies the means” (tujuan menghalalkan cara). Namun, situasi yang dialami Jokowi menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan, cara dan proses sangatlah penting. Ketika cara yang digunakan salah, hasil akhirnya hanya akan berupa kehancuran reputasi, dan dalam kasus Jokowi, mungkin saja berakhir dengan proses hukum yang panjang.