Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui Komisi IX mendukung ide susu ikan yang diusulkan masuk dalam program makan bergizi gratis pemerintahan Prabowo Subianto.
Susu ikan ini disebut-sebut sebagai pengganti susu sapi. Hanya saja, menurut sebagian praktisi ilmu gizi, minuman ini lebih tepat istilahnya minuman bergizi tinggi. Sebab, produk olahan ikan tidak dapat dikatakan sebagai jenis susu.
"Kami menyambut positif ya usulan tersebut, sangat baik. Hanya saja lebih tepat bila dinamakan atau istilahnya adalah minuman bergizi tinggi dari ikan," ujar Anggota Komisi IX Arzeti Bilbina, Kamis (12/9/2024) lalu.
Sementara itu, Pusat Studi Pangan Gizi Universitas Kristen Indonesia (PSPG UKI) mengkritisi program makan siang gratis dengan susu ikan.
Ketua PSPG UKI, DR.dr. Carmen Siagian, SpGK mengatakan, program yang disampaikan Prabowo tidak cocok dengan ekonomi, budaya dan gizi di Indonesia. Pasalnya, susu ikan hasil dari hidrolisat protein ikan atau HPI itu bersifat suplemen.
"Jadi, tidak cocok dibuat susu ikan untuk program makan siang gratis, karena susu sifatnya sebagai suplemen makanan," tegas dokter Carmen dilansir dari mediusnews.com, Rabu, 18 September 2024.
"Nah, kalau dikatakan susu ikan, itu berarti suplemen susu dalam bentuk minuman, dan jadi pertanyaan pada saat kapan diberikan, padahal program Prabowo adalah makan siang gratis, kenapa harus pakai siang, kenapa nga pagi, buat aja program sarapan gratis," sambung dia.
Ketua Umum komunitas Asa Hari Depan atau AHaD menambahkan seyogyanya tim Prabowo menganalisa program makan siang gratis dengan pemberian susu ikan itu, misalnya dari sudut pandangan ekonomi, budaya, dan kandungan gizi.
"Sebut saja dari segi ekonomi, apakah efisien atau tidak kah memberi susu ikan sebagai makan siang, yang katanya anggaran makan siang itu sebesar 15 ribu rupiah per orang," tutur dokter gizi tersebut.
Padahal, lanjut dia, tidak cukup dengan susu ikan tersebut apabila sebagai pengganti makan siang, sedangkan makan siang plus lauk dengan anggaran 15 ribu rupiah perorang, masuk tidak anggaran itu ditambah susu ikan tersebut.
"Kalau makan siang gratis ditambah susu ikan sebagai suplemen masuk tidak dalam anggaran sebesar 15 ribu rupiah per hari tersebut," cetus dokter spesialis gizi tersebut.
Carmen yang juga akademisi fakultas kedokteran UKI itu menegaskan dari segi budaya namanya makan siang itu adalah makanan pokok seperti nasi, tales, singkong ditambah lauk dan sayuran, kerap menjadi asupan masyarakat Indonesia setiap hari dari Sabang sampai Merauke.
"Kalau ikan diolah pabrik sebagai bahan untuk susu memerlukan biaya yang besar karena mengunakan teknologi, sehingga memerlukan investasi yang cukup besar, karena ikan diolah menjadi HPI," ujarnya seperti dikutip dari fajar
Menuai Kritik
Rencana tersebut tak lepas dari kritik, utamanya para pakar. Dari segi nutrisi, ahli gizi dr Tan Shot Yen menegaskan sumber protein tidak harus selalu berasal dari susu. Terlebih, dalam hal ini 'susu ikan' melalui sejumlah pemrosesan untuk bisa menjadi bubuk, yang artinya termasuk pangan ultra-proses.
Dirinya mengaku heran bila wacana tersebut benar-benar diterapkan. Ia menekankan, sumber nutrisi utama protein malah lebih banyak didapatkan dari real-food alias ikan yang dimakan langsung secara utuh.
"Kalau bisa makan ikannya, kenapa mesti ada pabrik susu ikan? Di daerah nggak ada ikan? Ada aneka telur, unggas. Kita butuh literasi dan edukasi. Bukan nambah industri, ikan segar kaya manfaat dan bukan produk ultra proses," terang dia saat dihubungi detikcom Rabu (11/9/2024).
Harga Relatif Mahal
Harga 'susu ikan' disebut cukup mahal dijual di sejumlah e-commerce. dr Tan menyoroti satu kaleng susu ikan dibanderol sekitar Rp 120 ribu, dengan harga tersebut sebetulnya sumber protein bisa lebih banyak didapatkan dari jenis lain termasuk ikan yang dibeli utuh, tidak perlu diproses seolah-olah menjadi 'susu'.
"Harga segitu dapat berapa kg ikan bisa dimakan seisi rumah?"
"Harus paham masalah public health dan komunikasi literasi gizi, kalau tidak selamanya stunting akan meledak. Terapkan ekonomi sirkular, makmurkan rakyat lokal, bukan bikin cuan segelintir lingkaran elit," sesalnya.
Kandungan Gula di 'Susu Ikan'
Dihubungi terpisah, spesialis gizi klinik dr Putri Sakti, MGizi, SpGK, AIFO-K, CBCFF, mengaku khawatir dengan sejumlah kandungan di produk 'susu ikan'. Pasalnya, dalam sejumlah produk terdapat kandungan gula cukup tinggi yakni maltodekstrin.
dr Putri menegaskan maltodekstrin memiliki indeks glikemik lebih tinggi ketimbang gula pasir. Tentu hal ini menjadi catatan bagi anak-anak hingga orang dewasa dengan penyakit penyerta termasuk diabetes.
"Karena di beberapa merek (susu ikan), kandungan gulanya cukup tinggi lho. Kemudian juga ada tambahan maltodekstrin, padahal maltodekstrin, indeks glikemiknya jauh lebih tinggi dibandingkan gula pasir, jadi tentunya terutama untuk anak-anak itu nggak bagus," terang dr Putri.
"Apalagi, untuk kita orang dewasa yang punya risiko diabetes atau memang sudah mengalami diabetes tersebut," tegasnya.
'Susu ikan' ditegaskan para pakar bukanlah seperti produk susu pada umumnya. Produk ini merupakan inovasi pangan yang dibuat menyerupai susu, dengan kandungan hidrolisat protein ikan.
Karenanya, susu sapi dan 'susu ikan' tidak bisa dibandingkan secara langsung.
"Susu ikan yang merupakan produk inovasi berbahan baku pangan ini sebetulnya kan dia dibuat seolah-olah seperti susu, tapi dia ini sebetulnya hidrolisat protein ikan. Jadi, secara nutrisi tidak bisa dicomparing secara apple to apple," jelas dr Putri Sakti saat dihubungi detikcom, Rabu (11/9/2024).
Susu sapi memiliki nutrisi alami seperti vitamin D, vitamin B12, dan kalsium. Meski beberapa susu sapi juga diklaim mengandung omega-3, kandungan ini bisa terpengaruh oleh proses pengolahan.
Sementara omega-3 pada susu olahan mungkin tidak terjaga dengan baik jika pemrosesan dilakukan secara berlebihan. Susu sapi merupakan produk alami yang berasal langsung dari mamalia, sementara susu ikan adalah produk olahan.***