Penulis: Ali Syarief Fusilatnews
Pendapat yang sering beredar di kalangan masyarakat Indonesia adalah bahwa Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, tidak akan pernah menjadi Wali Kota Solo—apalagi calon Wakil Presiden—jika bukan karena statusnya sebagai anak presiden. Kritik terhadap Gibran ini bukan tanpa alasan. Banyak yang menganggap bahwa pencapaian karier politiknya tak lepas dari pengaruh kuat dinasti politik keluarganya, bukan karena kapabilitas atau prestasi pribadinya.
Bagi sebagian masyarakat, ini adalah bentuk nyata dari nepotisme, di mana posisi kekuasaan diwariskan seperti sebuah kerajaan, bukan diperoleh melalui kompetisi demokratis yang adil. Gibran, yang dianggap minim pengalaman dan tidak pernah menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi, dinilai tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk menduduki jabatan publik tinggi. Kritik ini makin tajam ketika ia mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, sebuah posisi yang secara historis biasanya diperuntukkan bagi tokoh-tokoh berpengalaman di ranah politik, hukum, atau ekonomi.
Attitude dan Kepribadian yang Dikritik
Tak hanya soal kapabilitas, perilaku dan sikap Gibran pun sering menjadi sorotan. Masyarakat menganggap bahwa ia kerap berperilaku seolah-olah ia tokoh besar yang mencapai puncak kariernya melalui perjuangan sendiri, padahal banyak yang berpendapat bahwa kesuksesannya didorong oleh nama besar ayahnya. Sebuah pertanyaan yang sering diutarakan adalah: “Jika bukan anak Jokowi, apakah Gibran bisa menjadi Wali Kota Solo, atau bahkan calon Wakil Presiden?”
Tindakan dan ucapan Gibran di media sosial juga tidak luput dari kritikan. Kasus akun “fafafufu” yang konon terkait dengan Gibran menambah buruk citra dirinya. Unggahan-unggahan yang kontroversial, penuh hinaan, kebencian, dan konten tidak pantas membuat banyak orang mempertanyakan kematangan mental dan etika putra presiden ini. Alih-alih menghindari kontroversi, akun tersebut justru memperlihatkan betapa Gibran masih jauh dari figur pemimpin yang diharapkan rakyat.
Isu Nepotisme dan Dinasti Politik
Nepotisme di Indonesia bukanlah fenomena baru, namun penunjukan anggota keluarga pejabat tinggi ke dalam posisi strategis sering kali menimbulkan perasaan tidak adil di kalangan rakyat. Dinasti politik seolah menutup pintu bagi orang-orang yang benar-benar berkompeten, namun tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik. Dalam kasus Gibran, banyak yang merasa bahwa ia hanyalah representasi dari dinasti politik Jokowi, di mana kekuasaan seolah diwariskan kepada keturunannya, tanpa memandang kompetensi.
Memang, di sistem demokrasi, siapa pun berhak mencalonkan diri untuk posisi publik, termasuk anak seorang presiden. Namun, dalam kasus Gibran, kritikan muncul karena langkah politiknya dianggap tidak melalui proses meritokrasi, tetapi lebih didasarkan pada keistimewaan yang ia dapatkan sebagai anak dari seorang presiden. Hal ini semakin memicu kekecewaan rakyat yang berharap pada pemimpin-pemimpin muda yang benar-benar lahir dari kompetisi yang adil.
Masa Depan Gibran dan Tuntutan Rakyat
Di tengah hiruk-pikuk politik, Gibran diharapkan bisa merefleksikan dirinya dengan baik. Sebagai sosok yang kini berada di panggung politik nasional, ia seharusnya menunjukkan sikap rendah hati dan tanggung jawab, bukan sebaliknya. Alih-alih menunjukkan perilaku arogan, Gibran perlu memperbaiki sikapnya dan membuktikan kepada rakyat bahwa ia pantas untuk posisi yang kini diembannya, bukan hanya karena statusnya sebagai anak Jokowi.
Masyarakat menginginkan pemimpin yang bersih, kompeten, dan mampu mendengarkan aspirasi mereka. Oleh karena itu, Gibran harus menyadari bahwa posisi yang ia duduki membawa tanggung jawab besar, bukan hanya kepada keluarga atau partai politiknya, tetapi kepada seluruh rakyat Indonesia. Rakyat tidak ingin melihat seorang pemimpin yang hanya mengandalkan nama besar keluarga, melainkan sosok yang bisa membawa perubahan nyata, dengan integritas dan kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan banyaknya kritik dan sorotan negatif terhadap Gibran, ia perlu memahami bahwa kepercayaan publik adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh kembali jika sudah hilang. Gibran harus mampu membuktikan bahwa dirinya layak menjadi pemimpin dengan kualitas diri yang kuat, bukan karena dinasti politik yang menopangnya.