Peristiwa 30 September 1965, yang dikenal dengan G30S PKI, menjadi sorotan dunia internasional karena terjadi di tengah ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat.
Posisi strategis Indonesia sebagai pusat di Asia Tenggara membuat negara-negara besar memperhatikan dengan seksama peristiwa ini.
Media dari berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa hingga Asia, berlomba-lomba melaporkan perkembangan yang terjadi, seperti dilansir SketsaNusantara.id dari kanal YouTube IT Tahfidz TV.
Dalam bukunya 1965 Indonesia and The World, peneliti Jerman Bern Schaefer mengungkapkan bagaimana media Jerman Barat dan Jerman Timur memberikan laporan berbeda tentang peristiwa tersebut.
Ulrich Grudinski, wartawan dari Jerman Barat, melaporkan serangan yang dilakukan Pemuda Muslim dan Kristen terhadap markas PKI di Jakarta.
Sementara wartawan Jerman Timur, Fett, menggambarkan Gerakan 30 September sebagai langkah preventif untuk menghindari kudeta militer.
Laporan-laporan ini kemudian tersebar luas di media Jerman dan Swiss.
Media Prancis juga tak kalah aktif. Le Monde, yang cenderung bersimpati pada kelompok kiri, pada 1 Oktober 1965 menyoroti pembunuhan yang terjadi di Indonesia dan Vietnam serta pecahnya komunisme menjadi dua kubu.
Sementara itu, L'Humanité, media yang pro-komunis fokus pada peran Soeharto sebagai tokoh anti-komunis.
Tak ketinggalan, koran borjuis Le Figaro turut menyebut Soeharto sebagai simbol perlawanan terhadap komunisme.
Tak hanya di Eropa, media di Asia, seperti The Manila Times di Filipina, juga memberi perhatian besar.
Pada 2 Oktober 1965, mereka menulis tajuk utama "Kudeta Terhadap Soekarno Gagal".
Presiden Filipina saat itu, Diosdado Macapagal, bahkan mengirimkan pesan langsung kepada Soekarno yang dipublikasikan pada 8 Oktober.
Menyatakan dukungan dan kelegaan bahwa Soekarno dalam keadaan baik.
Kemudian, pada Oktober 1965, media Filipina juga melaporkan pelarangan PKI sebagai kemenangan atas kejahatan.
Namun, berbeda dengan media kapitalis yang lebih fokus pada aspek-aspek politik, media di negara-negara komunis pada tahun 1967 menekankan bahwa G30S hanyalah konflik internal di Angkatan Darat dan bukan gerakan yang didalangi PKI.
Bahkan, pers Soviet dengan tegas mengutuk kemunculan Orde Baru di Indonesia.
Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan Indonesia, mengkritik beberapa akademisi Barat seperti Dr. Justus M. van der Kroef.
Pasalnya, ia menulis bahwa tujuan utama G30S adalah untuk menghancurkan struktur komando Angkatan Darat dan membentuk pemerintahan rakyat ala komunis.
Meski beberapa analisis dianggap masuk akal, banyak yang dirasa kurang memahami situasi sebenarnya di Indonesia.
Selain itu, berbagai tulisan dari peneliti lain seperti John O. Sutter dan John Hughes juga menjadi sorotan.
Meski dianggap menarik, banyak di antaranya yang dikritik Nugroho karena terlalu menyoroti korban-korban tanpa melihat latar belakang yang lebih mendalam.
Laporan media dari seluruh dunia tentang G30S PKI memperlihatkan beragam perspektif tentang kejadian ini.
Perbedaan pandangan tersebut tak hanya mencerminkan ketegangan politik global kala itu.
Akan tetapi, juga memperlihatkan bagaimana setiap negara memiliki interpretasi tersendiri tentang peristiwa yang mengguncang Indonesia.
Meski sudah berlalu puluhan tahun, perdebatan seputar peristiwa ini masih tetap hangat hingga sekarang.***