Seniman sekaligus aktor, Reza Rahadian mempertanyakan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berupaya mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Pilkada. Hal itu membuatnya geram dengan sikap DPR. Padahal, menurut dia, putusan MK adalah suara dari rakyat.
“Melihat aspirasi, gelombang yang begini besar, lantas kalau mereka punya suara sangat bertolak belakang dengan keputusan itu. Ini sebenarnya wakil-wakil siapa,?” tutur Reza di podcast Bocor Alus Politik yang tayang pada saluran YouTube Tempodotco, Kamis, 22 Agustus 2024.
Reza melihat institusi yang harusnya mewakili rakyat tersebut dikendalikan oleh kekuatan politik besar. Kekuatan politik tersebut berada pada Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Ia menyoroti bagaimana DPR merombak sistem dengan mengabaikan putusan MK demi menguntungkan KIM Plus.
“Karena wakil rakyat juga kita tahu, mereka yang duduk di DPR kan juga mewakili partai. Nah, kalau sekarang partainya semuanya sudah ada di Kim plus” tutur Reza.
Melihat gelombang masyarakat yang menolak RUU Pilkada oleh DPR dan mayoritas fraksi partai setuju, Reza mempertanyakan mengenai nasib demokrasi Indonesia ke depan. Ia ragu demokrasi Indonesia akan baik dikemudian hari jika hari ini saja DPR mengabaikan aspirasi masyarakat.
“Percuma kita punya wakil rakyat kalau semuanya akhirnya enggak ada yang menjalankan fungsi dan tugas pokoknya seperti bagaimana dimandatkan,” ujar Reza.
Pada Kamis, 22 Agustus 2024 DPR tengah mengadakan sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Pilkada. Bersamaan dengan paripurna tersebut, sejumlah masyarakat melakukan aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU Pilkada tersebut. Demonstrasi tersebut dilakukan sebagai protes atas pengesahan RUU Pilkada yang dilakukan dengan tergesa-gesa serta mengabaikan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Pada aksi tersebut Reza Rahadian hadir untuk menumpahkan kegelisahannya terhadap DPR. Ia merasa apa yang dilakukan oleh DPR sudah terlampau kelewat batas. Ia ingin berjuang bersama dengan masyarakat yang berdemonstrasi di depan gedung DPR.
“Rasanya ini sudah ugal-ugalan, saya sudah tidak terlalu bisa tenang berada di rumah dan melihat kawan-kawan yang sedang berjuang” tutur Reza seperti dikutip dari tempo
Ikatan Pelajar Muhammadiyah Serukan Kawal Putusan MK soal UU Pilkada
Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK mengikat dan tidak bisa dianulir, sehingga seluruh pihak harus menghormati.
Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik PP IPM, Fajri Syahiddinillah, mengatakan upaya untuk mengubah atau menganulir keputusan MK melalui Perppu atau revisi undang-undang bertentangan prinsip-prinsip integritas, supremasi hukum, dan demokrasi.
"Keputusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dianulir oleh kekuasaan eksekutif atau legislatif, sebagaimana diatur dalam UUD 1945," kata Fajri, Kamis, 22 Agustus 2024.
Pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK membuat keputusan terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai untuk mengusung pasangan calon kepala daerah.
Kemudian keputusan Nomor 70//PUU-XXII/2024 tentang batas minimal usia minimum kepala daerah dihitung sejak mendaftar ke KPU, yang mana putusan ini memupuskan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyebut ambang batas usia dihitung sejak pelantikan.
Belakangan, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI merevisi Undang-Undang Pilkada terkait putusan MK dan mengadopsi aturan batas usia calon kepala daerah sesuai Putusan MA No. 23/P/HUM/2024 yang menyebutkan syarat minimal usia 30 tahun bagi calon gubernur dihitung sejak pelantikan.
Pemuda Katolik Minta DPR Dengarkan Aspirasi Rakyat Terkait RUU Pilkada
Pengurus Pusat Pemuda Katolik meminta agar aspirasi massa yang melakukan aksi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diperjuangkan dan didengarkan oleh Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) RI.
Ketua Umum PP Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma menegaskan agar DPR jangan terkesan memaksakan proses RUU secara terburu-buru.
"DPR harus mendengarkan aspirasi rakyat, mendengarkan suara rakyat. Apalagi aksi ini terjadi di banyak daerah," kata Gusma, dalam keterangannya Kamis (22/8).
Ia menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan terkait syarat usia calon kepala daerah dan dukungan partai bagi calon kepala daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024.
Itu sebabnya, DPR harusnya menghargai dan menghormati keputusan MK sebagai institusi yang diberikan kewenangan untuk menilai suatu hal yang diatur dalam undang undang, agar tetap di jalur konstitusi yang baik dan benar yang selaras dengan nafas UUD 1945.***