Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Dua Poin RUU Pilkada Yang Menyulut 'Amarah' Demo di Berbagai Daerah

 

Dua pasal pada revisi Undang-undang (RUU) Pilkada menyulut emosi masyarakat sipil dari berbagai elemen hingga mereka melakukan demonstrasi di berbagai daerah.

Dua pasal itu yakni Pasal 7 tentang syarat usia minimum calon kepala daerah dan Pasal 40 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.

Pasal ini direvisi sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok palu untuk dua gugatan terkait Pilkada 2024, yaitu gugatan dengan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 pada Selasa (20/8).

Pada putusan Nomor 70, MK mengubah syarat usia minimal 30 untuk cagub dan cawagub pada Pasal 7 UU Pilkada menjadi terhitung sejak penetapan.

Ketentuan ini berbeda dengan putusan MA yang menginginkan aturan tersebut dihitung sejak pelantikan.

Adapun melalui putusan 60, MK mengubah ketentuan dalam Pasal 40 UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. MK juga menurunkan ambang batas untuk syarat pengusungan cakada bagi semua partai.

Usai putusan itu keluar, revisi dilakukan secara kebut. Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam.

Isi yang disepakati Baleg tidak sesuai dengan putusan MK. Revisi UU itu disetujui delapan dari sembilan fraksi di DPR. Hanya PDIP yang menolak.

Dalam Pasal 7 terkait syarat usia minimal calon kepala daerah, Baleg menyepakati untuk mengikuti rujukan dari putusan MA.

Mereka ingin ketentuan usia minimum dihitung sejak pelantikan cakada, bukan penetapan pendaftaran.

"Berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur serta 25 untuk Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih," demikian bunyi catatan rapat baleg.

Kemudian pada Pasal 40 UU Pilkada, Baleg menambah ketentuan dari putusan MK. Baleg ingin ketentuan ambang batas yang lama sebelum putusan MK tetap diterapkan untuk parpol yang mempunyai kursi di DPR.

Sementara itu, ketentuan ambang batas yang telah diturunkan MK hanya berlaku untuk partai yang tidak mempunyai kursi di DPRD.

Berikut usulan perubahan substansi pasal 40 UU Pilkada setelah putusan MK yang disepakati baleg:

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan

(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

(3) Partai Politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati atau calon Walilota dan calon Wakil Walikota dengan ketentuan:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.

Karena merevisi dua pasal itu, masyarakat menilai DPR sedang mengakali aturan syarat Pilkada. Baleg DPR juga dianggap menentang konstitusi dengan mengabaikan putusan MK.

Protes tak terelakkan, emosi masyarakat pecah pada kemarin, Kamis (23/8). Sejumlah elemen masyarakat tumpah ke jalan.

Salah satunya, di depan Gedung DPR RI. Setelah diprotes keras, DPR pun membatalkan pengesahan RUU tersebut seperti dikutip dari CNN Indonesia

Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna Sebut Pihaknya Sesalkan Baleg DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna merespons hasil rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengenai revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Undang-Undang Pilkada). Ia menyesalkan, Baleg DPR secara terang-terangan membangkang terhadap putusan MK.

"Kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata I Dewa Gede Palguna kepada wartawan, Rabu (21/8).

Pembangkangan terhadap konstitusi itu dapat dilihat dari hasil rapat Baleg DPR. Pasalnya, Baleg tiba-tiba secara mempercepat pembahasan revisi UU Pilkada, setelah hadirnya putusan MK mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai bata usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di DPRD

Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Selain itu, MK juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.

Namun, Baleg DPR tidak mengindahkan putusan MK itu. Palguna menegaskan, masyarakat sejatinya tidak diam melihat sikap tersebut.

"Itu kan sudah berada di luar kewenangan MK. Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society, serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapean," pungkasnya.***

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved