Oleh: Karyudi Sutajah Putra - Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia
Ancaman gagal dilantik sebagai Presiden RI 2025-2029 terus membayangi Prabowo Subianto. Sebab itu, begitu mulai muncul gelombang aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Kamis (22/8/2024), Ketua Umum Partai Gerindra itu disinyalir langsung memerintahkan anak buahnya yang menjadi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad untuk mengumumkan pembatalan revisi UU Pilkada tersebut.
Revisi UU Pilkada oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR itu sendiri memang disinyalir untuk mengadang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60 dan No 70 Tahun 2024.
Sebaliknya, Baleg justru lebih memilih mengakomodasi Putusan Mahkamah Agung (MA) No 23P Tahun 2024 yang menghitung usia calon kepala daerah per tanggal pelantikan calon terpilih.
Dengan aturan ini maka Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo bisa maju sebagai calon gubernur/wakil gubernur di Pilkada 2024.
Sedangkan Putusan MK No 70 Tahun 2024 menghitung usia calon kepala daerah per tanggal pendaftaran, 27-29 Agustus lusa.
Artinya, Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada 25 Desember mendatang tak bisa maju sebagai cagub/wagub.
Adapun Putusan MK No 60 Tahun 2024 melonggarkan “threshold” atau ambang batas pencalonan kepala daerah, dari semula 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah di pemilu terakhir, menjadi 6,5 persen, 7,5 persen, 8,5 persen hingga 10 persen suara sesuai jumlah pemilih daerah bersangkutan hasil pemilu terakhir di Pilkada 2024.
PDI Perjuangan, yang hanya punya 15 dari batas minimal 22 kursi di DPRD Provinsi Jakarta yang totalnya 106 kursi pun kini bisa mengajukan calon sendiri melawan 12 parpol yang tergabung dalam Koalisi Jakarta Maju yang mengusung Ridwan Kamil dan Suswono sebagai cagub/cawagub Pilkada 2024. Inilah yang hendak diadang Baleg melalui revisi UU Pilkada.
Setelah revisi UU Pilkada tenggelam, kini Baleg akan menenggelamkan pula revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Kepastian tenggelamnya revisi UU TNI dan UU Polri itu disampaikan Ketua Baleg DPR Wihadi Wiyanto dari Partai Gerindra.
Pengganti Supratman Andi Agtas yang diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menyatakan, pihaknya telah memutuskan untuk menunda pembahasan revisi UU TNI dan UU Polri.
Pembahasan revisi kedua UU tersebut, katanya, akan dilanjutkan oleh DPR periode 2024-2024 karena DPR periode 2019-2024 akan habis per 30 September 2024.
Urgensi revisi kedua UU tersebut, apakah akan dilanjutkan atau tidak, katanya, juga akan dilihat oleh DPR periode 2024-2029. Artinya, revisi UU TNI dan UU Polri bisa batal seperti UU Pilkada.
Batalnya revisi UU TNI dan UU Polri ini juga ditengarai atas perintah Prabowo supaya tidak muncul gelombang aksi unjuk rasa hingga pelantikan dirinya bersama Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober mendatang.
Maklum, publik pun menentang revisi UU TNI dan UU Polri yang akan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era rezim Orde Baru.
Bahkan saat ini pun sudah banyak perwira tinggi aktif TNI dan Polri yang dikaryakan di institusi-institusi sipil seperti kementerian dan lembaga. Termasuk para Penjahat Gubernur di sejumlah provinsi di Indonesia.
Mengapa revisi UU TNI dan UU Polri dibatalkan? Sekali lagi, karena disinyalir Prabowo takut tidak jadi dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Oktober mendatang akibat maraknya gelombang aksi unjuk rasa.
Kalau gelombamg aksi unjuk rasa terus bermunculan, maka situasi dan kondisi keamanan negara akan rawan.
Jika aksi-aksi unjuk rasa berakhir “chaos” sampai pada 20 Oktober mendatang, maka bisa jadi Prabowo-Gibran batal dilantik.
Sebab itu, Prabowo tak mau ambil risiko. Jalan menuju pelantikannya harus diratakan. Tak boleh ada gejolak.
Apa pun yang berpotensi menimbulkan gelombang aksi unjuk rasa, mesti diredam. Meskipun untuk itu Prabowo harus melawan kehendak Presiden Jokowi.***