Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan proses penghitungan perolehan suara secara manual di tingkat kecamatan. Penghentian penghitungan suara mulai dilakukan mulai Minggu (18/2) hingga Selasa (20/2).
Koordinator Nasional JPPR Nurlia Dian Paramita menilai kebijakan itu sangat janggal dan patut dicurigai.
“Karena harusnya Sirekap tidak menghambat rekapitulasi secara manual. KPU terkesan ingin melakukan pengondisian hasil pemilu,” ujar Mita kepada Media Indonesia, Senin (19/2).
Mita menilai rekapitulasi yang krusial dan kerap bermasalah terjadi mulai dari tingkat TPS sampai tingkat kecamatan.
“Bayangkan saja, hasil penghitungan di TPS kemudian di serahkan ke PPS untuk diteruskan ke PPK dan di PPK melakukan rekap tingkat kecamatan. Kendalanya rekap di kecamatan ini keterbatasan pengawas pemilu d itengah penghitungan yang akan diakumulasi dari setiap TPS per-kelurahan,” tuturnya.
Adanya jeda penghitungan suara, lanjut Mita, berpotensi memunculkan kecurangan pemilu lain seperti pengubahan suara saat rekapitulasi di tingkat kecamatan.
Sikap KPU menghentikan sementara penghitungan suara menimbulkan kecurigaan publik terkait dugaan kecurangan pemilu jika tindakan-tindakan yang dilakukan KPU tidak rasional dan tidak sesuai prosedur.
"Penundaan itu sangat berbahaya jika tidak dikawal. Alasannya sangat aneh dan tidak masuk akal, malah mempertebal kecurigaan publik terhadap upaya kecurangan yang bisa terjadi saat proses penghitungan,” ucapnya.
Ia pun berharap KPU tidak arogan dalam mengambil tindakan di tengah situasi saat ini banyak pihak yang tidak percaya atas kinerja lembaga yang diketuai Hasyim Asy'ari itu. (Z-11)