Jika Prabowo Presiden, Gibran Jadi “Penguasa” Jakarta
“Masa depan bangsa Indonesia ada di Kalimantan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi dan Koalisi Indonesia Maju memutuskan: menetapkan Ibu Kota Negara Nusantara ada di Kalimantan. Dengan IKN, dampak positif pembangunan akan dirasakan rakyat Kalimantan. Kita dukung IKN di Kalimantan.” - Prabowo Subianto saat kampanye di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 20 Januari 2024
Jika Prabowo jadi presiden, maka salah satu hal yang sudah pasti: Ia bakal fokus melanjutkan pembangunan IKN. Sementara soal “mantan ibu kota” Jakarta yang bakal menjadi kawasan aglomerasi bersama wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur) akan menjadi urusan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, sesuai Rancangan Undang-Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang saat ini tengah digodok di DPR.
Pasal 1 RUU DKJ menjelaskan, kawasan aglomerasi ialah beberapa kota dan kabupaten yang diintegrasikan tata kelolanya sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global. Integrasi tersebut mencakup perkara pemerintahan, industri, perdagangan, transportasi terpadu, dan bidang-bidang strategis lainnya.
Pasal 55 ayat 3 RUU DKJ berbunyi, “Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin oleh Wakil Presiden.” Artinya, menurut pakar otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., wakil presiden bakal mengendalikan Jakarta lewat Dewan Kawasan Aglomerasi.
“Itu posisi baru wapres sebagai pemimpin Dewan Kawasan Aglomerasi. Jadi, [bila Prabowo jadi presiden], maka Gibran yang pegang perekonomian nasional, sebab 17% pangsa perekonomian nasional itu di Jakarta,” ujar Djohermansyah yang menjabat Dirjen Otda Kemendagri periode 2010–2013 itu.
RUU DKJ, Penopang “Kekuasaan” Wapres di Jakarta Raya
Salah satu poin kontroversial pembahasan RUU Daerah Khusus (tanpa Ibu kota) Jakarta adalah Pasal 10 ayat 2 yang berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.”
Bila merujuk pada pasal tersebut, Gubernur Jakarta kelak tak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi ditunjuk oleh Presiden. Namun, ini belum final, sebab RUU DKJ masih berupa rancangan yang belum disahkan menjadi Undang-Undang. Dan Presiden Jokowi telah menyatakan ketidaksetujuan atas poin tersebut.
“Presiden menyampaikan dengan tegas bahwa Gubernur DKI (Jakarta) dipilih oleh rakyat,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas usai rapat kabinet soal RUU DKJ di Istana Negara, Jumat (19/1).
Mondar-mandir isu perubahan mekanisme pemilihan Gubernur Jakarta mencuat setelah DPR menyetujui RUU DKJ sebagai usul inisiatif DPR pada rapat paripurna 5 Desember 2023. Persetujuan diberikan oleh 8 dari 9 fraksi di DPR, kecuali PKS yang menolak RUU DKJ—selaras dengan penolakannya atas UU IKN karena tidak menyetujui pemindahan ibu kota negara yang mereka yakini bakal membebani keuangan negara.
RUU DKJ disusun atas mandat dari UU IKN yang disahkan pada 2022. Pasal 41 ayat 2 UU IKN memerintahkan agar UU DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI harus diubah sesuai ketentuan UU IKN, paling lama dua tahun sejak UU IKN diundangkan 15 Februari 2022.
Dengan kata lain, UU IKN mencopot status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang kini dipindah di IKN. Sementara RUU DKJ mengatur tentang kekhususan Jakarta setelah tidak menjadi Ibu Kota Negara. Berdasarkan mandat UU IKN, RUU DKJ ditargetkan sah menjadi UU pada 15 Februari 2024—kurang dari sebulan lagi.
RUU DKJ memuat 72 pasal, termasuk Pasal 10 soal penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden. Pasal tersebut masuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dibahas DPR dengan pemerintah. Mula-mula ada beberapa partai yang menyetujui pasal ini sebagai alternatif yang mesti dikaji, yakni Gerindra, PPP, dan PAN. Namun, PAN dan PPP kemudian berubah pikiran, diikuti partai-partai lain yang lalu menolak pasal itu.
“Setelah RUU itu diparipurnakan di DPR, timbul pro-kontra [soal Pasal 10]. Tapi agaknya semua fraksi menyatakan kesetujuannya bahwa gubernur [Jakarta seharusnya] dipilih [oleh rakyat],” kata legislator PAN Guspardi Gaus, salah satu anggota Panitia Kerja RUU DKJ, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/1).
Dalam Rapat Paripurna DPR 5 Desember 2023, Fraksi PAN berpendapat opsi Gubernur Jakarta tetap dipilih rakyat lewat pilkada, mesti dikaji dan diperdalam. Fraksi PAN juga memberikan pilihan bahwa pada titik tertentu, Gubernur DKJ tidak perlu dipilih langsung, tetapi ditunjuk dan ditetapkan oleh presiden; sedangkan para wali kota di DKJ ditunjuk dan ditetapkan oleh gubernur.
Walau begitu, Guspardi Gaus secara pribadi berpandangan bahwa pemerintahan di Jakarta, baik gubernur maupun wali kota, harus dipilih secara demokratis oleh rakyat sebagaimana wilayah-wilayah Indonesia yang lain.
Terkait Pasal 10 yang kontroversial tersebut, seorang sumber yang turut menyusun RUU DKJ menyebut, sejatinya RUU DKJ mulai disusun Kementerian Dalam Negeri bersama Pemprov DKI Jakarta sejak Maret 2023. Di tengah proses itu, muncul permintaan untuk memasukkan klausul Gubernur Jakarta ditunjuk oleh Presiden, bukan dipilih melalui pilkada. Namun Kemendagri menolak usul tersebut.
Masih menurut sumber itu, Kemendagri menilai bahwa pasal penunjukan Gubernur oleh Presiden bakal menuai penolakan dan protes keras dari masyarakat sebagaimana wacana terdahulu soal kepala daerah dipilih DPRD. Mendagri Tito Karnavian pun sudah menyatakan: Pemerintah tidak setuju dengan klausul Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden.
Dalam pembahasan awal RUU DKJ antara Komisi II DPR dan pemerintah, sesungguhnya telah disepakati bahwa RUU tersebut akan diajukan oleh pemerintah. Namun, menurut sumber di Senayan, pemerintah lalai dan baru mengajukan RUU DKJ setelah DPR menetapkan program legislasi nasional pada Oktober 2023.
Akhirnya, pada 3 Oktober, terdapat evaluasi kedua atas RUU Prolegnas Prioritas 2023 untuk memasukkan RUU DKJ. RUU ini pun berubah dari usulan pemerintah menjadi inisiatif DPR melalui Badan Legislasi. Tujuannya agar target pengesahannya menjadi UU dapat tepat waktu.
Masalahnya, meski baru masuk prolegnas pada Oktober 2023, RUU DKJ ditargetkan disahkan menjadi UU hanya dalam empat bulan, yakni Februari 2024. Padahal sepanjang Desember 2023, DPR reses alias rehat bersidang karena para anggotanya turun ke daerah pemilihan masing-masing.
Selain itu, menurut anggota Baleg dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, posisi RUU DKJ jadi agak lucu karena sebagai amanat dari UU IKN, ia justru jadi diinisiasi DPR. Padahal UU IKN diinisiasi pemerintah.
Soal kejar tayang RUU DKJ yang cuma empat bulan, Guspardi memandang prosesnya tidak akan begitu berat, sebab DPR sudah membuat naskah akademik dan sudah membahasnya.
Setelah RUU DKJ masuk prolegnas, Baleg DPR menggelar serangkaian rapat, baik bersifat terbuka maupun tertutup. Yang terbuka antara lain Rapat Dengar Pendapat Umum dengan lima pakar dan organisasi asosiasi Betawi pada 8 November 2023; RDPU dengan Badan Musyawarah Betawi dan Kaukus Muda Betawi pada 9 November; dan Rapat Panja RUU DKJ pada 13–14 November.
Rapat Panja tersebut kemudian disahkan Baleg dalam Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Penyusunan RUU DKJ pada 4 Desember. Dalam rapat itu, 8 dari 9 fraksi menyetujui RUU DKJ dengan menyertakan catatan. Ketika itu, Gerindra, PPP, dan PAN menyetujui penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden sebagai alternatif pilkada.
Esoknya, 5 Desember, RUU DKJ diketok sebagai inisiatif DPR pada rapat paripurna.
Dua sumber kumparan yang mengetahui penyusunan RUU DKJ menyatakan, awalnya draf RUU yang disampaikan pemerintah ke DPR beserta naskah akademiknya tak memasukkan pasal soal penunjukan Gubernur oleh Presiden. Tetapi kemudian ada lobi ke anggota Baleg soal itu yang lalu dilegitimasi melalui usulan dalam RDPU dengan pakar dan kelompok masyarakat pada awal November 2023.
Usulan Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden dinyatakan oleh Fraksi Gerindra dalam Rapat Pleno Baleg pada 4 Desember 2023. Menurut Gerindra, hal itu demi mengakomodasi usulan Badan Musyawarah Betawi pada RDPU 9 November.
“[Ini] merupakan bentuk implementasi dari partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ujar anggota Baleg dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan.
kumparan menghubungi sejumlah legislator Gerindra untuk bertanya lebih lanjut, termasuk Supratman Andi Agtas (Ketua Baleg dari Fraksi Gerindra), namun sampai saat ini belum direspons.
Kekuasaan Besar Wakil Presiden di Pusat Jakarta
Salah satu hal penting yang diatur RUU DKJ ialah mengenai kawasan aglomerasi yang minimal mencakup Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Cianjur.
Kawasan aglomerasi dibentuk untuk menyinkronkan pembangunan Jakarta dengan wilayah sekitarnya, dan untuk mengoordinasikan penataan ruang kawasan strategis nasional di wilayah itu. Untuk itulah akan dibentuk Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden.
Kabar pembagian tugas antara Prabowo dan Gibran untuk mengurus IKN Nusantara dan Jakarta dirasa masuk akal. Posisi Gibran sebagai pemimpin Dewan Kawasan Aglomerasi nantinya pun dapat ditopang oleh pengalamannya sebagai Wali Kota Solo.
Di sisi lain, beberapa pihak seperti pakar otda Djohermansyah Djohan merasa khawatir kekuasaan Gibran bakal jadi terlalu besar, terlebih bila gubernur ditunjuk oleh Presiden, bukan lewat pilkada. Ia menyinggung adanya potensi Gibran memegang kendali kekuasaan dalam jangka panjang.
“Sebanyak 17% kue ekonomi nasional ada di Jakarta. Jadi, Gibran bisa pegang perekonomian nasional. Bayangkan ekonomi dan politik ada di satu tangan. Ia bisa menguasai hajat hidup orang banyak, jangan-jangan sampai tujuh turunan. Itu bahayanya. Sangat riskan untuk pemerintahan demokratis,” kata Djohermansyah saat ditemui di Cilandak, Jakarta Selatan (18/1).
Sementara itu, amatlah wajar bila Prabowo lebih banyak menghabiskan waktu di IKN Nusantara, sebab di sanalah pusat pemerintahan RI masa depan. Menurut Djohermansyah, “Kendali pemerintahan memang harus dari IKN, termasuk untuk menyelenggarakan tugas-tugas politik.”
Persoalannya, lanjutnya, “Pusat ekonomi faktualnya ada di Jakarta. Dan kalau mau mendapatkan kekuasaan politik, harus mempunyai sumber ekonomi.”
Siapa kuasai ekonomi, dia kuasai politik.
Pendapat Djohermansyah itu diamini ahli tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, yang melihat peran Wapres dalam RUU DKJ juga bermuatan politis.
“Itu bisa jadi ‘persiapan’ untuk periode berikutnya. Faktanya, siapa pun yang mengelola Jakarta dengan baik, akan mendapatkan bekal politik untuk mencalonkan diri ke pilpres berikutnya [seperti Jokowi dan Anies]. Itulah kenapa Jakarta jadi rebutan,” ujar Nirwono.
“Meski ibu kota pindah, Jakarta akan tetap menjadi roh [Indonesia] sampai 2045. Di IKN, mau ngapain saja, belum akan berdampak langsung. Tapi di Jakarta saat ini, kegiatan sekecil apa pun bisa langsung jadi sorotan,” sambungnya.
Meski demikian, legislator PKS Mardani menganggap bahwa pembagian wewenang soal kawasan aglomerasi yang tengah digodok dalam RUU DKJ cukup fair.
“RUU ini disusun sebelum ketahuan siapa calon wakil presidennya. Ada yang bilang, Jokowi ingin [Gibran cawapres supaya nanti pegang Jakarta]. Tapi kan belum tentu Gibran yang menang,” kata Mardani di Senayan.
Terlepas dari soal Gibran yang bakal memegang Jakarta bila 02 menang Pilpres, pengoordinasian Jakarta dan wilayah sekitarnya oleh Dewan Kawasan Aglomerasi dinilai positif untuk menyinkronkan pembangunan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya.
Dewan Kawasan Aglomerasi dinilai bakal lebih kuat ketimbang Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur yang kini diketuai bergantian antara Gubernur Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
“Badan kerjasama yang sekarang (BKSP) memang praktiknya tidak efektif, sebab tiap daerah di dalamnya otonom. Masing-masing punya kewenangan dan pembiayaan sendiri-sendiri. Polanya jadi tidak sinkron,” kata Djohermansyah.
Namun, Nirwono berpandangan bahwa tidak efektifnya BKSP bukan karena tidak dipegang pemerintah pusat, melainkan karena pembangunan wilayah selama ini lebih bertumpu kepada kepentingan politik—yang tentu berbeda-beda sesuai partai politik yang berkuasa di daerah tersebut.
“Dipimpin wapres pun tidak akan menjamin akan terwujud. Kedua koordinasi ini harusnya bisa dievaluasi, dioptimalkan kelebihan dan kekurangannya yang diperbaiki. Dan itu sudah berjalan tanpa harus membentuk badan aglomerasi. Percuma kalau membuat badan dengan nama lain, tapi persoalan mendasar di badan koordinasi tidak diselesaikan,” jelasnya.
Jika wewenang koordinasi dan sinkronisasi pembangunan Jakarta dan wilayah sekitarnya ditarik ke pemerintah pusat, Djohermansyah yakin perencanaan pembangunan akan lebih terintegrasi kuat. Soal pendanaan, misalnya, APBD bisa dipakai tanpa terkotak-kotak berdasarkan wilayah.
“Itu akan menolong pemda yang biasanya jalan masing-masing. Perencanaan pembangunan Jakarta kan terkait erat dengan kawasan sekitarnya. Pekerja Jakarta bahkan banyak yang tinggal di daerah suburban seperti Bogor dan Banten. Jadi, asal wapresnya [sebagai pemimpin Dewan Kawasan Aglomerasi] paham, pengelolaan bisa lebih efisien,” ucap Djohermansyah.
Pun begitu, ia mendorong agar DPR pemerintah menunda kelanjutan proses RUU DKJ dengan dua alasan: 1) Target pengesahannya menjadi UU yang tenggatnya terlalu pendek; dan 2) Waktu pembahasan yang bertepatan dengan agenda pilpres.
“Akan lebih baik menyerahkan finalisasi RUU tentang Jakarta kepada rezim baru yang nanti memenangi kontestasi Pilpres,” tutup Djohermansyah.