Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pihaknya mempertimbangkan menyetop sementara perang di Jalur Gaza untuk memfasilitasi masuknya bantuan termasuk pelepasan sandera.
Dalam pengumuman pada Selasa (7/11/2023), Netanyahu menyebut membuka opsi "jeda kecil pertempuran" di Gaza, tetapi menolak seruan gencatan senjata meskipun tekanan internasional telah meningkat.
"Jeda taktis-satu jam di sini, satu jam di sana-kita sudah mengalaminya sebelumnya," ujar Netanyahu dalam wawancara dengan media ABC News, dikutip Reuters.
"Saya kira kita akan memeriksa keadaan untuk memungkinkan barang-barang kemanusiaan masuk, atau sandera kita, sandera individu untuk pergi," tambahnya.
Netanyahu mengatakan gencatan senjata secara umum akan menghambat upaya perang negaranya. Namun klaimnya, menghentikan pertempuran karena alasan kemanusiaan, sebuah gagasan yang didukung Amerika Serikat (AS), akan dipertimbangkan berdasar keadaan.
"Tetapi menurut saya tidak akan ada gencatan senjata secara umum," tambahnya.
Pasukan Israel dan kelompok Hamas melakukan pertempuran jarak dekat di kota Gaza.
Netanyahu pun mengatakan bahwa ketika konflik selesai "Israel akan memikul tanggung jawab keamanan secara keseluruhan (di Gaza)". Ini berarti Israel akan menjadi otoritas yang mengatur wilayah itu.
Di sisi lain, PM Otoritas Palestina Mohammad Shtayyeh menolak rencana usulan gencatan senjata dari Israel. Pasalnya syarat untuk mengakhiri perang, Israel mau membentuk otoritas transisi yang memerintah kawasan itu.
Shtayyeh mengatakan otoritas Palestina tidak akan kembali memerintah Gaza setelah konflik Israel-Hamas tanpa perjanjian komprehensif yang mencakup Tepi Barat (West Bank) sebagai negara Palestina.
Perdana menteri sejak 2019 itu juga menekankan tidak akan bekerja sama tanpa kembali ke proses perdamaian sejati yang menghasilkan dua negara berdaulat.
"Untuk meminta Otoritas Palestina pergi ke Gaza dan menjalankan urusan Gaza tanpa solusi politik untuk Tepi Barat, seolah-olah Otoritas Palestina akan menaiki F-16 atau tank Israel?" kata Shtayyeh, seperti dikutip dari The Guardian.
Dia menambahkan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah visi perdamaian yang komprehensif. "Tepi Barat membutuhkan solusi, dan kemudian menghubungkan Gaza dengan wilayah tersebut dalam kerangka solusi dua negara," katanya.
Baca: Cerita Pilu Dokter RS Indonesia di Gaza, Bikin Hati Teriris
Adapun Rrencana Israel sendiri disebut-sebut memiliki kemungkinan melibatkan negara-negara Arab, yang mengarah pada pemulihan Otoritas Palestina (PA) yang digulingkan dari Gaza dalam kudeta Hamas pada 2007 silam.
Shtayyeh berpendapat bahwa rencana Israel untuk menjalankan wilayah tersebut menggantikan Hamas memberikan komunitas internasional pengaruh yang langka untuk kembali ke solusi dua negara yang telah dibongkar secara sistematis oleh Netanyahu selama masa jabatannya.