Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Akui Sudah 30 Tahun Lebih Jadi Peneliti, Said Didu Sindir BRIN: Baru Kali Ini Ada Penelitian 'Sehebat' Ini...

 


Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menyoroti pernyataan dari Peneliti Astronomi dan Astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin yang menyebut perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Lebaran terjadi bukan karena metode hisab dan rukyat melainkan perbedaan kriteria.

Hal tersebut ditanggapi Said Didu melalui akun Twitter pribadi miliknya. Dalam cuitannya, Said Didu menegaskan bahwa dirinya sudah pernah jadi peneliti selama 30 tahun lebih. 

"Hahaha. Saya lebih 30 tahun jadi peneliti. Baru kali ini ada penelitian 'sehebat' ini," ujar Said Didu dikutip WE NewsWorthy dari akun Twitter pribadi miliknya, Minggu (12/3).

Sementara itu, adapun yang digunakan Muhammadiyah yakni kriteria wujudul hilal, sedangkan imkan rukyat atau visibilitas hilal digunakan oleh NU dan beberapa organisasi keagamaan lain di Indonesia.

Peneliti Astronomi dan Astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menegaskan bahwa perlunya kriteria agar bisa disepakati bersama terkait penentuan awal bulan.

"Penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama. Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru," tuturnya.

"Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria, sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat," sambungnya.

Dilansir dari Replubika, Thomas menerangkan bahwa kriteria hilal yang diadopsi adalah kriteria berdasarkan pada dalil hukum agama tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih.

Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab untuk menjadi kesepakatan bersama, termasuk Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Menurutnya, ada potensi kesamaan awal Ramadhan pada tahun ini, yakni 23 Maret 2023.

Di Indonesia, saat Maghrib, 22 Maret 2023, posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS dengan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Sementara itu, di sisi lain, ada potensi perbedaan Idul Fitri tahun ini karena saat Maghrib, 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Namun, posisi bulan itu sudah memenuhi kriteria wujudul hilal. Apabila merujuk kriteria baru MABIMS, maka Lebaran jatuh pada 22 April 2023, sedangkan bila merujuk wujudul hilal, 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada 21 April 2023. 

Lebih lanjut Thomas mengungkapkan penyebab utama perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang terus berulang karena belum ada kesepakatan terkait kriteria awal bulan Hijriyah.

Prasyarat utama untuk terwujudnya unifikasi Kalender Hijriyah harus ada otoritas tunggal. Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggal yang dapat diikuti bersama.

Sedangkan, kondisi saat ini otoritas tunggal mungkin bisa diwujudkan dulu di tingkat nasional atau regional.

"Penentuan ini mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum sesuai batas kedaulatan negara. Kriteria diupayakan untuk disepakati bersama," pungkas Thomas.


Sumber Berita / Artikel Asli : NW Wartaekonomi

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved