Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Kajian Yuridis Instruksi Mendagri Sebagai Dasar Hukum Pemberhentian Gubernur Dikaitkan Dengan Asas Legalitas




 KAJIAN YURIDIS INSTRUKSI MENDAGRI SEBAGAI DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN GUBERNUR DIKAITKAN DENGAN ASAS LEGALITAS 


Dr. H. Rasji, S.H., M.H.

Muhammad Rizky Syamandiri


ABSTRAK

Sebagaimana diketahui Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, dimana setiap aktivitas dan proses jalannya Pemerintahan dan Ketatanegaraan serta Kebangsaan Rakyat Indonesia harus didasarkan pada Hukum yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan istilah ASAS LEGALITAS. Asas Legalitas dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dikenal dengan istilah WETMATIGHEID VAN HET BERSTUUR, yang mengandung arti bahwa setiap tindakan Pemerintah itu harus berdasarkan hukum, yaitu peraturan perundang-undangan tertulis yang berlaku di Indonesia. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan asas legalitas berarti tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat. Berkaitan dengan Asas Legalitas ini, diharapkan seluruh Pejabat & Aparatur Pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah, di dalam membuat satu kebijakan Pemerintahannya yang berkaitan dengan Hajat hidup rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, senantiasa juga berlandaskan pada Asas Legalitas. Hal ini, berlaku juga bagi Pejabat Pemerintahan Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri RI, di dalam membuat setiap Kebijakan dan Putusannya berkaitan dengan Tugas dan Wewenangnya. Namun dalam faktanya seringkali perilaku dari para Pejabat Pemerintahan di Pusat lebih menggunakan kekuasaanya, daripada menggunakan Asas Legalitas di dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan Tugas dan Wewenangnya. Yang menjadi permasalahan di dalam perilaku Pejabat Pemerintahan Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Sampai sejauh manakah Kekuatan Hukum daripada Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut terhadap Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia, mengingat masih ada Peraturan Tertulis yang lebih Relevan lagi untuk Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah itu sendiri, dengan menggunakan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Jurnal ini Penulis ingin mengkaji secara Yuridis mengenai Instruksi Menteri Dalam Negeri dalam Proses Pemberhentian Gubernur di Indonesia, dengan menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif yaitu dengan menggunakan UUD 1945 sebagai Fundamental Norm, UU No. 11 Tahun 2012, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam Hukum Administrasi Negara, hal ini diharapkan agar Proses jalannya Pemerintahan Republik Indonesia akan lebih baik lagi, sesuai dengan Asas Legalitas dalam Hukum Tata Negara kita dan serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) kita.



Kata Kunci; Asas Legalitas, Instruksi Mendagri, Pemerintahan Daerah, AAUPB.



ABSTRACT

As we know Indonesia is a country based on law. This is confirmed in Article 1 Paragraph (2) of the 1945 NRI Constitution, where every activity and process of the course of government and constitutionality and the nationality of the Indonesian people must be based on the law in force in Indonesia known as the PRINCIPLE OF LEGALITY. The principle of legality in constitutional law and state administrative law is known as WETMATIGHEID VAN HET BERSTUUR, which means that every government action must be based on law, namely written laws and regulations in force in Indonesia. Article 1 number 8 of Law Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning the State Administrative Court which states that a State Administrative Agency or Official is a body or official who carries out government affairs based on applicable laws and regulations. As we know Indonesia is a country based on law. This is confirmed in Article 1 Paragraph (2) of the 1945 NRI Constitution, where every activity and process of the course of government and constitutionality and the nationality of the Indonesian people must be based on the law in force in Indonesia known as the PRINCIPLE OF LEGALITY. The principle of legality in constitutional law and state administrative law is known as WETMATIGHEID VAN HET BERSTUUR, which means that every government action must be based on law, namely written laws and regulations in force in Indonesia. Article 1 number 8 of Law Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning the State Administrative Court which states that a State Administrative Agency or Official is a body or official who carries out government affairs based on applicable laws and regulations. This also applies to central government officials, in this case the Minister of Home Affairs of the Republic of Indonesia, in making every Policy and Decision relating to their Duties and Authorities. But in fact, the behavior of the Government Officials at the Centre often uses their power, rather than using the Principle of Legality in making policies relating to their Duties and Authorities. The problem in the behavior of central government officials, in this case the Minister of Home Affairs, to what extent is the legal force of the instruction of the Minister of Home Affairs to the dismissal of regional head governors in Indonesia, considering that there are still more relevant written regulations for the dismissal of the regional head governor himself, using Law No. 23 of 2014 concerning Regional Government. Through this Journal, the author wants to examine juridically regarding the Instructions of the Minister of Home Affairs in the Process of Dismissing the Governor in Indonesia, by using the Normative Legal Research Method, namely by using the 1945 Constitution as the Fundamental Norm, Law No. 11 of 2012, Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government and the General Principles of Good Governance (AAUPB) in State Administrative Law, it is hoped that the process of running the Government of the Republic of Indonesia will be even better, in accordance with the Principle of Legality in our Constitutional Law and also the General Principles of Good Governance (AAUPB) of ours.



Keywords; Principle of Legality, Instruction of the Minister of Home Affairs, Local Government, AAUPB.



  1. PENDAHULUAN

Sebagai negara Hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum”, maka bangsa Indonesia di dalam menjalankan aktivitas Kebangsaan dan Kenegaraanya senantiasa berlandaskan pada Asas-Asas Hukum yang berlaku di Indonesia. Konsep negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak dihadapan hukum sebagai Panglima Tertinggi atau tidak ada kekuasaan lain apapun, kecuali hukum semata. Ciri-ciri negara hukum yang demokratis yaitu rakyat memegang peran kunci dan kedudukan sentral dalam menentukan arah kebijakan. Secara implisit pengertian demokrasi tercermin dari kedekatan penguasa atau pemimpin bangsa dengan rakyat dengan menerapkan prinsip keterbukaan atau trasparansi serta bersedia mengkoreksi dan meluruskan kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan kepentingan rakyatnya. 

Sebagai negara hukum yang berlandarkan pada supremasi hukum, maka kebijakan  pemerintah terhadap masyarakat Indonesia baik di Pusat maupun di Daerah harus berlandaskan hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di dalam Undang-Undang (UU) dan Peraturan Daerah (PERDA) yang melibatkan DPR/DPRD yang merupakan representatif dari suara rakyat untuk dapat memberikan masukan dan mengarahkan yang menjadi keinginan masyarakat luas. Berdasarkan prinsip negara hukum yaitu pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, maka dalam menjalankan suatu pemerintahan harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman penyelengaraan suatu negara yang berlandaskan keinginan rakyat. Konstitusi yang merupakan pedoman dalam bernegara dan kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dibagi menjadi beberapa jenis peraturan perundang-undangan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang harmonis dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ketidakharmonisan suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan lain baik yang setingkat maupun berada pada tingkatan yang berbeda, akan menimbulkan suatu permasalahan yang kompleks. Akibatnya peraturan tersebut dapat dibatalkan karena hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi maupun peraturan perundang-undangan diatasnya.

Bentuk disharmonisasi tersebut terlihat dalam pengajuan judicial review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi maupun peraturan di bawah UU ke Mahkamah Agung, di MK mulai tahun 2004 sampai bulan April 2019 sudah diajukan sebanyak 1231 Perkara dengan rincian 203 dikabulkan, 433 ditolak, 481 tidak dapat diterima (NO) dan sisanya adalah ketetapan mahkamah konstitusi. Banyaknya perkara yang diajukan Mahkamah Konstitusi menunjukan bahwa produk yang dibentuk (UU) masih terdapat banyak kelemahan sehingga membuat unsur suatu pasal bertentangan dengan konstitusi. Idealnya sebagai pijakan dalam pembentukan ataupun Peninjauan Kembali sebuah undang-undang yaitu juga memperhatikan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, sesuai dengan Pasal 18 huruf h UndangUndang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam tahapan perencanaan. Bila terjadi penolakan mengenai revisi Undang-Undang tersebut seharusnya harus dilakukan Peninjauan Kembali dan diserap aspirasinya agar tidak terjadi konflik di masyarakat. Sebagai contoh kontroversi dalam Revisi Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK) yang banyak terjadi penolakan oleh masyarakat maupun oleh pegiat anti korupsi, kalangan akademisi, serta KPK itu sendiri. Kemudian penolakan Undang-Undang rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merupakan produk hukum Indonesia asli yang diharapkan dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang belum diakomodir dalam KUHP versi kolonial Belanda.

Menurut UU N0 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (yang selanjutnya disebut dengan UU P3) bahwa mekanisme preview (peninjauan) tersebut sebenarnya sudah dilakukan mulai pada tahap perencanaan yang mencakup hipotesa awal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 19 ayat (2) UU 12 Tahun 2011 mengharuskan dalam membentuk perencanaan peraturan perundang-undangan maka harus memperhatikan latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan jangkauan dan arah pengaturan. Penelaahan tersebut juga terdapat dalam tahapan penyusunan yang usul penyusunan melalui naskah akademik yang memuat alasan filosofis, yuridis dan empiris yang kemudian akan diharmonisasikan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi bila usul dari pemerintah maka harmonisasi pembulatan, dan pemantapan konsepsi melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

Selain melalui preview (peninjauan) dalam pembentukannya, pembenahan peraturan perundang-undangan sebenarnya dapat dilakukan melalui peninjauan kembali peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat dengan melihat efektifitas yang ditimbulkan dengan adanya UU tersebut, yaitu dengan peninjauan secara berkala yang dilakukan oleh pembentuk/pembuatnya sendiri yaitu oleh DPR untuk undang-undang (biasa disebut dengan istilah legislative review). 

Begitu Juga bagi seorang Pejabat Pemerintah Pusat sekelas Menteri Dalam Negeri di dalam membuat aturan dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya bagi masyarakat Indonesia, hendaknya juga tetap mengacu pada asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia salah satunya adalah ASAS LEGALITAS di dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Republik Indonesia, yaitu dalam UUD 1945 sebagai staatgrundgezet, UU No. 11 Tahun 2012, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Pejabat-Pejabat Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan di daerah, sehingga tidak akan terjadi adannya ABUSE OF POWER di dalam tugas dan Wewenangnya di dalam Pemerintahan Republik Indonesia kita.

Namun dalam faktanya tidak jarang para pejabat Pemerintahan Pusat maupun di Daerah melakukan Praktik-Praktik penyalahgunaan kekuasaan di dalam Pemerintahannya untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan Pribadi maupun golongannya. Untuk menghindari hal-hal terjelek yang akan merusak jalannya Pemerintahan Republik Indonesia kita, maka melalui Jurnal ini Penulis ingin melakukan suatu Kajian Yuridis tentang INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI yang dipakai sebagai Dasar Hukum dalam proses pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia. Dengan harapan bahwa Proses Pemberhentian Kepala Daerah itu sendiri nantinya tidak bertentangan dengan Konstitusi RI kita serta Asas Legalitas kita di dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia kita yang berlandaskan pada Pancasila sebagai Fundamental Norm dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Basic Norm. 


  1. RUMUSAN MASALAH

Berangkat dari Latar Belakang dan Pendahuluan diatas maka penulis merumuskan permasalahan :

sampai sejauh mana Kekuatan Hukum Instruksi Menteri Dalam Negeri terhadap Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia, dikaitkan dengan Asas Legalitas dalam hal ini UUD 1945 (basic norm), UU No. 11 Tahun 2012, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) di Indonesia ?


  1. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Metode yang digunakan dalam Jurnal ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif, Metode Penelitian Hukum Normatif ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.


  1. PEMBAHASAN

  1. Asas Legalitas

Asas legalitas merupakan asas yang memiliki makna yang luas, dimana asas legalitas ini selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum. Selain asas perlindungan kebebasan dan hak asasi manusia, asas legalitas juga merupakan asas pokok. Asas legalitas di Indonesia berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Asas legalitas selama ini memang lebih dikenal dalam hukum pidana, yang terdapat dalam rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” Dalam hal ini, Enschede memberikan pendapat bahwa hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas ini, yaitu:

  1. Suatu perbuatan hanya dapat dipidana jika diatur dalam perundang-undangan pidana.

  2. Kekuatan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Asas legalitas memang lebih dikenal dalam hukum pidana, namun asas legalitas juga terdapat dalam Hukum Administrasi Negara (HAN). Di lapangan hukum administrasi negara dan hukum tata negara, asas ini dikenal dengan istilah wetmatigheid van het bestuur, yang memiliki arti bahwa setiap tindakan pemerintahan itu harus memiliki dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Demikian juga Tindakan setiap orang di dalam negara harus sesuai UU atau peraturan yang berlaku. Asas legalitas dalam hukum administrasi negara ini dapat ditarik dari Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Asas legalitas memiliki makna bahwa setiap penyelenggaraan administrasi pemerintahan itu harus mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan maupun tindakan yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintahan. Hukum menjadi dasar legalitas kekuasaan pemerintah terhadap rakyatnya. Tanpa hukum, kekuasaan pemerintah tidak sah. Dengan begitu, baik dalam keputusan maupun tindakannya badan dan pejabat pemerintahan tersebut tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik, yaitu hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya atau hubungan antara organ pemerintah, sehingga hukum administrasi negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintah itu dapat melaksanakan tugasnya.


Indroharto berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara”, bahwa asas legalitas dalam konteks hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara awalnya hanya berkaitan dengan usaha melawan hak raja-raja untuk memungut pajak dari rakyat jika rakyat tidak diwakili dalam perwakilan atau jika raja melakukan penahanan dan menjatuhkan pidana.


Namun, pada saat ini pengertian asas legalitas mengalami perluasan sehingga semua wewenang dari aparat pemerintah yang melanggar kebebasan atau hak milik warga masyarakat di tingkat manapun dapat ditindak lanjuti. Dengan adanya asas legalitas yang diperluas, berarti bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat.

Dalam hal ini, asas legalitas juga dapat dipakai sebagai dasar untuk menguji tindakan pemerintah, sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 53 ayat (2) Asas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal ini menyebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan diantaranya yaitu:

  1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Keputusan TUN yang digugat tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Asas legalitas juga secara tegas disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan didasarkan pada:

  1. Asas legalitas

  2. Asas perlindungan terhadap hak asasi manusia

  3. Asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB)

Begitu juga di dalam penerapan instruksi Mendagri sebagai Dasar Hukum di dalam pemberhentian seorang Gubernur Kepala Daerah di Indonesia hal ini terlihat ada proses pelanggaran terhadap Asas Legalitas kita di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa:

“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Di dalam masalah pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia, yang menjadi dasar Hukum (Asas Legalitas) kita dalam Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai peraturan intinya (Peraturan Perundang-Undangan Tertulisnya). Hal ini juga sesuai dengan Hirarki di dalam Peraturan Perundang-Undangan tertulis yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019, dimana Peraturan Perundang-Undangan Tertulis yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah Provinsi di Indonesia menduduki urutan ke lima (5) di dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Tertulis di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Dari Kajian Yuridis berdasarkan Asas Legalitas ini, menunjukan bahwa apa yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, dalam menjalankan tugas dan kewenanganya dalam Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia, dengan berdasarkan pada Instruksi Mendagri tersebut jelas tidak sesuai dengan Asas Legalitas di dalam Hukum Tata Negara RI maupun Hukum Administrasi Negara RI kita. Sehingga hal ini menjadi satu evaluasi bagi Menteri Dalam Negeri di dalam Pelaksanaan tugas-tugas dan kewenangan Eksekutifnya, diharapkan lebih memperhatikan kembali apa yang menjadi Asas Legalitasnya sebagai Wakil Rakyat Indonesia di Eksekutif di dalam membuat satu kebijakan yang berkaitan dengan Tugas dan Wewenangnya di dalam Pemerintahan RI kita untuk tidak sewenang-wenang dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golonganya.


  1. Peraturan perundang-undangan Indonesia

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari lima tahapan, diawali dengan tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap pengesahan atau penetapan, dan terakhir tahap pengundangan. Peraturan perundang-undangan merupakan sumber terutama untuk penyelenggaraan hukum dan negara di Indonesia. Peraturan perundang-undangan di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis yang disusun dalam bentuk hierarki menurut kekuatan hukumnya.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berdasarkan pada Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini membuat seluruh peraturan perundang-undangan Indonesia yang dibuat harus menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara, serta setiap materi muatan dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Jenis dan hierarki

Peraturan perundang-undangan terdiri atas beberapa jenis peraturan, dan setiap peraturan disusun berdasarkan kekuatan hukumnya ke dalam suatu hierarki. Hierarki peraturan perundang-undangan adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berikut adalah hierarki peraturan perundang-undangan terbaru menurut "Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan" (UU No.12 Tahun 2011).

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

  4. Peraturan Pemerintah

  5. Peraturan Presiden

  6. Peraturan Daerah Provinsi

  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dari hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, hanya ada beberapa peraturan tertentu yang boleh memiliki materi muatan mengenai ketentuan pidana, yaitu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain peraturan yang tercantum dalam hierarki di atas, terdapat peraturan-peraturan yang diakui keberadaannya dan kekuatan hukumnya mengikat, tetapi peraturan-peraturan tersebut dibuat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan). Peraturan-peraturan ini mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, bupati/wali kota, kepala desa atau yang setingkat. 

Dari uraian dan penjelasan mengenai Peraturan Perundang-Undangan Tertulis yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019, maka terlihat bahwa Instruksi itu tidak termasuk di dalam Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan tertulis di Indonesia berdasarkan Asas Legalitas kita di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Hal ini menunjukan bahwa Menteri Dalam Negeri di dalam proses pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia, dengan menggunakan Instruksi Mendagri-nya, jelas melanggar Peraturan Perundang-Undangan Tertulis sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Tertulis di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Sehingga Instruksi Mendagri sebagai Dasar Hukum Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia itu tidak bisa dijadikan sebagai Landasan atau Dasar Hukum Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Negara RI kita. Semuanya harus mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan Tertulis yang berlaku di Indonesia yaitu yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2019.


  1. Mekanisme   Pemberhentian   Kepala   Daerah   Berdasarkan   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Untuk mengetahui bagaimana kedudukan kepala daerah serta hubungannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam sistem penyelenggaraaan pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan bagaimana mekanisme pemberhentian Kepala Daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah serta dikaitkan berdasarkan UU N0 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. 

Kedudukan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sangat penting dan strategis, apalagi kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam membina dan memimpin penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pertanggungjawaban kepala daerah sebagai unsur utama dalam mekanisme pemberhentian kepala daerah dalam berbagai undang-undang tentang pemerintahan daerah, yang menunjukkan adanya sifat parlementer dalam mekanisme pertanggungjawabannnya, dalam arti adanya pertanggungjawaban politik. Pemberhentian kepala daerah ada yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Mahkamah Agung dan Presiden, dan ada yang tidak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu dalam hal kepala daerah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Pengaturan mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sudah cukup mencakup substansi mengenai alasan pemberhentian kepala daerah baik dari aspek politik maupun dari aspek yuridis sehingga masih perlu dipertahankan.

Jika hal tersebut dikaitkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf b menjelaskan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun secara konstitusional pemerintah daerah diberikan wewenang langsung dari UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) berbunyi: Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun wewenang konstitusional itu dapat dikatakan sebagai wewenang mengatur dan mengurus sendiri apabila setiap tindakan dan keputusan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana masa jabatan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya. Persoalan aktual dan tren dibalik pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tingkat provinsi pascareformasi salah satunya adalah mengenai pemberhentian kepala daerah dan juga pengunduran diri kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Usul pengunduran diri kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah pada umumnya tidak banyak menimbulkan kontroversi dan gejolak politik yang tajam. Usul pemberhentian seorang kepala daerah oleh sebagian kalangan diyakini bisa berpotensi menimbulkan gejolak politik di masing-masing daerah. Persoalan tersebut, publik sering kali meminta kepada pemerintah pusat khususnya melalui Kementerian Dalam Negeri agar bersikap tegas, memberi teguran atau peringatan bahkan memberhentikan kepala daerah dan/wakil kepala daerah yang diduga dan didakwa melakukan pelanggaran hukum (pidana khusus dan pidana umum), melanggar sumpah jabatan, dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan tertulis dalam hal ini adalah

  1. UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) berbunyi: Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

  2. Pengaturan mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 23 Tahun 2014

  3. Asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana masa jabatan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya.

Maka bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, dalam hal memberhentikan seorang Gubernur Kepala Daerah di Indonesia dengan menggunakan Instruksi Mendagrinya, jelas tidak sesuai dengan Asas Legalitas di dalam Pemerintahan Daerah itu sendiri. Seharusnya dalam Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2014 serta Asas Desentralisasi, tugas pembantuan, dan Dekonsentrasi, Menteri dalam Negeri tidak menggunakan Instruksi Dalam Negeri nya untuk memberhentikan Jabatan Gubernur di Indonesia, namun menggunakan ketentuan daripada mekanisme pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 23 Tahun 2014.



  1. Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB)

Sebagai Negara yang berdasarkan Hukum maka setiap bentuk aktivitas kebangsaan dan jalannya Pemerintahan Republik Indonesia semuanya harus berlandaskan pada Hukum, baik di bidang Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, pergeseran Konsepsi Negara Peronda (NACHWACHTERSSTAAT) ke konsepsi WELFARE STATE membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas Pemerintah pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding yaitu pembatasan Negara dan Pemerintah dari kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat. Pemerintah bersifat Pasif, hanya sebagai penjaga ketertiban dan keamanaan masyarakat. Sementara pada konsepsi Welfare state pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan Bestuurszorg (kesejaterahan umum), dimana Pemerintah diberikan kewenangan untuk campur tangan staatsbemoeienis dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Artinya bahwa Pemerintah dituntut untuk bertindak aktif ditengah dinamika kehidupan masyarakat. 

Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari ASAS LEGALITAS, yang menjadi “SENDI UTAMA NEGARA HUKUM”. Akan tetapi, karena ada keterbatasan dari Asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah dijelaskan diatas maka kepada Pemerintah diberikan freies ermessen yaitu Kemerdekaan Pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. freies ermessen (diskresionare) merupakan salah satu sarana yan memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau Administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada Undang-Undang dalam praktek FREIES ERMESSEN ini membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara Pemerintah dan Warga Negara. Menurut Sjachran Basah, Pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan Negara (atau mengupayakan Bestuurszorg) melalui pembangunan, tidak berarti Pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap tindak tanduk itu haruslah di pertanggungjawabkan. Artinya meskipun intervensi Pemerintah dalam kehidupan Warga Negara merupakan kemestian dalam konsepsi Welfare State, akan tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan Pemerintah juga merupakan kemestian dalam Negara Hukum yang menjunjung tinggi Nilai-Nilai kebenaran dan keadilan. Di dalam Kasus Instruksi Mendagri Sebagai Dasar Hukum Pemberhentian Gubernur di Indonesia, disini terlihat adannya ketidak sesuaian antara konsep Welfare State dengan kebijakan Menteri Dalam Negeri di dalam memberhentikan seorang Gubernur di Indonesia dengan menggunakan kekuasaanya, dimana hal ini sangat menyimpang dan tidak sesuai dengan konsep Welfare state di dalam Negara Hukum Indonesia, dimana pertanggungjawaban setiap tindakan Pemerintah juga merupakan kemestian dalam Negara Hukum yang menjunjung tinggi Nilai-Nilai kebenaran dan keadilan.

Konsepsi Negara Hukum mengindikasikan Ekuilibrium antara Hak dan Kewajiban. Salah satu sarana untuk menjaga Ekuilibrium adalah melalui Peradilan Administrasi, sebagai Peradilan Khusus yang berwenang dan menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dengan Warga Negara. Adapun salah satu tolak ukur untuk menilai apakah tindakan Pemerintah itu sejalan dengan Negara Hukum atau tidak adalah dengan menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). 

Ketika mengawali pembahasan tentang AAUPB, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis sebagai berikut : 

“Organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan hukum tertulis, di samping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik”. 

J.B.J.M. ten Berge, sesudah menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang patut ini berkembang setelah perang dunia kedua, ia mengatakan sebagai berikut :

“Istilah asas-asas pemerintahan yang patut dapat menimbulkan salah pengertian. Kata asas sebenarnya dapat memiliki beberapa arti. Kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar, atau aturan hukum fundamental. Pada kombinasi kalimat asas pemerintah yang patut berarti kata asas mengandung arti asas hukum, tidak lain. Asas-asas pemerintahan yang patut sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai peraturan hukum mengikat yang diterapkan pada tindakan pemerintah. 

Suatu keputusan pemerintah yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik berarti bertentangan dengan peraturan hukum. Begitu juga halnya dengan Instruksi Mendagri yang dipakai sebagai Dasar Hukum untuk memberhentikan Jabatan Gubernur di Indonesia. Hal ini jelas menunjukan adannya penyimpangan terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik di dalam Hukum Administrasi kita di Indonesia. Penyimpangan itu terlihat pada saat Menteri dalam Negeri mengeluarkan Instruksinya untuk memberhentikan Jabatan Gubernur Indonesia dimana seharusnya, Dasar Hukum yang dipakai dalam proses pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia itu, menggunakan Peraturan Perundang-Undangan Tertulis yang asli yaitu berupa Peraturan Pemerintah Daerah (Perda tingkat 1) bukan Peraturan semu hasil dari diskresi Mendagri.

Meskipun asas itu berupa pernyataan samar tetapi kekuatan mengikatnya sama sekali tidaklah samar asas ini memiliki daya kerja yang mengikat umum. Istilah pemerintahan yang patut juga dapat menimbulkan salah pengertian. Yang berkenaan dengan hakim, bukanlah pemerintahan yang patut, tetapi pemerintahan yang sesuai dengan hukum. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa istilah asas-asas pemerintahan yang patut sebenarnya dimaksud sebagai peraturan hukum tidak tertulis pada pemerintahan yang berdasarkan hukum”.

Berdasarkan pendapat van Wijk/Willem Konijnenbelt dan ten Berge tersebut tampak bahwa kedudukan AAUPB dalam system hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis. Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintahan, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakn bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.

Pada kenyataanya, AAUPB ini meskipun merupakan asas namun tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam Pasal Undang-Undang serta mempunyai sanksi tertentu.


AAUPB hanya dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai instrument untuk peningkatan perlindungan hukum (verhoogde rechtsbescherming) bagi Warga Negara dari tindakan pemerintah. AAUPB selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan kita menemukan abbb (aglemene beginselen van behaoorlijk bestuur) dalam dua varian, yaitu sebagai dasar penilaian bagi hakim dan sebagai norma pengarah bagi organ pemerintahan. 


Dan telah disebutkan bahwa AAUPB merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah, oleh karena itu, terdapat rumusan yang beragam mengenai asas-asas tersebut. Yang telah dirumuskan oleh para penulis Indonesia, khususnya koentjoro purbopranoto dan SF. Marbun. Macam-macam AAUPB tersebut, adalah sebagai berikut :


  1. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

Asas ini agar menghendaki agar Pemerintah atau Administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktifitas penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi Warga Negara, apabila berkaitan dengan tindakan Pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan maka Pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar, dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, juga harus mempertimbangkan akibat-akibat Hukum yang muncul dari keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Asas kecermatan membawa serta, bahwa Badan Pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi Nasehat yang diberikan apalagi bila dalam panitia penasehat itu duduk ahli-ahli dalam bidang tertentu. Di dalam kasus pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia dengan menggunakan Instruksi Mendagri sebagai Dasar Hukum, hal ini menunjukan adannya penyimpangan terhadap AAUPB yaitu bahwa Mendagri bertindak tidak cermat dan melakukan suatu tindakan yang menyimpangi atau melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik dalam hal ini Asas bertindak cermat atau Asas kecermatan. Asas kecermatan ini mensyaratkan agar badan Pemerintahan sebelum menggambil keputusan, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukan pula semua kepentingan yang relevan dalam peertimbanganya. Dan apabila fakta-fakta Penting tersebut kurang diteliti maka hal itu berarti tidak cermat.


  1. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)

Asas ini menghendaki agar setiap keputusan Badan-Badan Pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai Dasar dalam menerbitkan Keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tercantum dalam Keputusan. Motivasi atau alasan ini harus benar dan jelas, sehingga pihak Administrabele memperoleh pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditujukan kepadanya. Menurut S.F. Marbun, setiap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dikeluarkan harus di dasari alasan dan alasanya itu harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Berkaitan dengan asas ini maka dalam pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, seharusnya juga memiliki dasar alasan yang jelas, terang, benar, obyektif, dan adil, sebagai motivasi agar keputusan yang dikeluarkan dan diterapkan dalam praktek ketatanegaraan kita di Indonesia, juga sesuai dengan Asas-Asas Umum di dalam Pemerintahan RI kita. Namun dalam faktanya, hal ini tidak dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri di dalam Pemberhentian Gubernur Kepala Daerah di Indonesia dengan berdasarkan pada Instruksi Mendagrinya. Berdasarkan Asas Motivasi untuk sebuah keputusan (Principle of Motivation) ini, terlihat bahwa apa yang dilakukan Mendagri dalam menggunakan Instruksi Mendagrinya untuk memberhentikan Gubernur Kepda di Indonesia itu tidak memenuhi Asas-Asas Umum dalam Pemerintahan RI kita. Dan kedepan diharpkan hal ini tidak terjadi lagi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan seorang aparatur pemerintah RI kita melanggar AAUPB ini. 


  1. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non-misuse of competence)

Setiap Pejabat Pemerintah memiliki wewenang yang diberikan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku atau berdasarkan pada Asas Legalitas dengan Wewenang yang diberikan itulah Pemerintah melakukan tindakan-tindakan Hukum dalam rangka melayani atau mengatur Warga Negara. Kewenangan Pemerintah secara umum mencakup 3 (tiga) hal yaitu kewenangan dari segi material (bevoegheid ratione materiale) kewenangan dari segi wilayah (bevoegheid ratione loci) dan kewenangan segi waktu (bevoegheid ratione temporis). Seorang pejabat pemerintah memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan baik dari segi materi, wilayah, maupun waktu, Aspek-Aspek wewenang ini tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Artinya Asas tidak mencampur adukan kewenangan ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan Wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam Peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. Berdasarkan Asas tidak mencampur adukan kewenangan ini, apabila diterapkan dalam hal kebijakan Menteri Dalam Negeri memberhentikan Gubernur Kepala Daerah dengan menggunakan Instruksi Mendagrinya sebagai dasar hukum, maka disini terlihat adannya penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir), yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dimana disebutkan dalam Pasal 53 Ayat (2) huruf b dan c sebagai berikut.

  1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana disebutkan Ayat (1) telah menggunakan Wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.

  2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan tersebut.

Dengan berdasarkan pada Asas tidak mencampuradukan kewenangan dan penyalahgunaan wewenang sebagai mana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) hurf b dan c ini, maka dengan sendirinya tindakan Menteri Dalam Negeri menggunakan Instruksi Mendagri sebagai Dasar Hukum bagi pemberhentian seorang Gubernur di Indonesia jelas tidak memenuhi apa yang menjadi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik di Indonesia, yang menjadi dasar hukum di dalam menjalankan Pemerintahan Republik Indonesia maupun di dalam Hukum Tata Negara RI. Sehingga kedepan diharapkan para pejabat Pemerintahan Republik Indonesia lebih baik lagi mengikuti AAUPB kita khususnya di dalam membuat suatu aturan/kebijakan bagi masyarakat di Negara Kesaturan Republik Indonesia.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian yuridis instruksi Mendagri yang dijadikan sebagai dasar hukum pemberhentian jabatan Gubernur di Indonesia, maka berdasarkan Asas Legalitas (semua Peraturan Perundang-Undangan Tertulis yang berlaku di Indonesia) yaitu UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, serta berdasarkan Pengaturan mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, Serta berdasarkan Asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana masa jabatan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya, dan dipertegas lagi dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) di Indonesia yaitu Asas bertindak cermat (principle of carefulness), Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation), dan Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non-misuse of competence), Dengan berdasarkan pada Asas tidak mencampuradukan kewenangan dan penyalahgunaan wewenang sebagai mana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) hurf b dan c tersebut, maka tindakan Menteri Dalam Negeri menggunakan Instruksi Mendagrinya sebagai Dasar Hukum di dalam memberhentikan Jabatan Gubernur di Indonesia, adalah tindakan yang melanggar dan bertentangan dengan Asas Legalitas yaitu semua Peraturan Perundang-Undangan tertulis yang berlaku di Indonesia saat ini dan tidak memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) di Indonesia. 



SARAN

Dalam rangka mewujudkan satu tatanan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum serta Asas Legalitas dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik di Indonesia, maka perlu adannya satu tindakan pembenahan terhadap para Aparatur Pemerintahan di Indonesia di dalam membuat satu kebijakan untuk rakyat, agar di masa-masa yang akan datang tidak terjadi lagi principle of non-misuse of competence atau mencampuradukan kewenangan dan penyalahgunaan wewenang sebagai mana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) hurf b dan c Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


Ateng Syarifudin, Asas-asas Pemerintahan yang layak Pegangan bagi Pengabdian Kepala Daerah, Vide Paulus E, Lotulung, op.cit., hlm. 65.

Anonim, “Pengertian Penelitian Hukum Normatif “, diakses dari https://idtesis.com/, diakses pada tanggal 29 Oktober 2022

H.D. van Wijk/Willem konjinenbelt, op.cit., hlm. 69-70  

Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Harapan.

J.B.J.M. ten Berge, op.cit., hlm. 247

Nomensen Sinamo, “Diklat Kuliah HTN Fakultas Hukum UBK Dikutip dari Nomensen Sinamo”, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga (Jakarta: Permata Aksara, 2014), hlm 181

Pendapat bahwa AAUPB merupakan hukum tidak tertulis didukung oleh hamper semua penulis hokum administrasi negara selain van Wijk, lihat misalnya, A.M. Donner, op.cit., hlm. 93, A.D. Belinfante, op.cit., hlm. 20, C.J.N Versteden, op.cit., hlm. 32, dan lain-lain.

Philipus M. Hadjon, et.al., op.cit., hlm. 270.

Rasji, “Problems in Various Implementations of Lawa and Regulations”, Journal Of Positive School Psychology, Vol.6, No. 4, 2022., hal.7890

Rasji, “Covid-19 Pandemic In Perspective Of The State Of Danger Of Constitutional Law”, Jurnal The Seybold Report, Vol. 17 No. 06, ISSN 1533-9211, 2022, hlm. 149.

Rasji, Sinta Paramita, Nigar Pandrianto, “Considering the Effectiveness of Sirculars: Finding Alternative of Medium Public Communication, Jurnal Komunikasi, Vol.14, No. 1, Juli 2022, hlm. 206.

Sobirin Malian, “Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945”, (Yogyakarta: FH UII Press, 2001), 36-37. 

SF. Marbun, Peradilan Administrasi…, op.cit., hlm. 337.

Sjachran Basah, Sengketa…, op.cit, hlm. 68.

Utrecht, op.cit., hlm. 30.












Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved