Oleh : Darmawan Sepriyossa
Meski terasa berlebihan bila disebut sebagai “conditio sine qua non” alias syarat mutlak, tetapi sadar dan mengerti bahwa Indonesia dibatasi sekaligus diberkahi keberagaman tampaknya menjadi prasyarat yang harus dimiliki siapa pun yang ingin menjadi pemimpin di negeri ini. Negeri majemuk yang penduduknya tidak hanya menganut banyak agama, melainkan dari sisi bahasa dan suku bangsa pun, negeri ini begitu kaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 bahasa dengan sekitar 1.340 suku bangsa, menurut sensus BPS tahun 2010
Sebenarnya, hal itu bukan hanya buat mereka yang berkehendak menjadi pemimpin. Bahkan untuk bisa hidup lebih nyaman pun, semua orang harus sadar akan soal keberagaman Indonesia ini. Bukankah itu menjadi hukum alam yang dipatenkan dengan nama Hukum Darwin 1? Sebagaimana kita pelajari di SMU/A, bunyinya kira-kira,”Tidak ada dua individu yang persis sama”, atau dengan kalimat lain,”Setiap individu adalah makhluk yang unik.” Karena setiap jiwa adalah unik, tentu saja perlakuan terhadap masing-masing pun seharusnya tidaklah sama. Memang ada ‘median’ yang memungkinkan orang punya batasan umum. Tetapi pada prinsipnya tetap saja setiap orang adalah individu unik yang memerlukan perlakuan khas pula.
Dengan fakta seperti itu, kematangan seorang pemimpin sebenarnya juga bisa terlihat dari kesadaran, sikap dan penghormatannya kepada keberagaman tersebut. Boleh saja Adolf Hitler dikagumi sekian banyak orang pada saat berjaya. Tetapi sikapnya yang rasis, penghinaannya akan sebagian ras manusia, menunjukkan mentahnya daya pikir serta sikap kekanakan dalam melihat fakta tentang manusia dan kemanusiaan. Kita tahu akhir hidupnya: ketakutan atas kelakuannya sendiri, ia memilih mati dengan bunuh diri.
Dalam nasionalisme atau semangat kebangsaan, ada hal yang sepintas lalu seolah paradoks. Seringkali nasionalisme dianggap hanya berkutat soal persatuan, ikatan, semangat kebersamaan dan esprit de corps alias jiwa korsa menurut tentara kita. Sebenarnya, jelas tidak. Nasionalisme sama sekali tidak mengingkari keberagaman, kekhususan sebuah etnis, suku bangsa, bahkan jiwa per jiwa manusia. Bila nasionalisme menafikan hal-hal yang merupakan fakta taken for granted dalam kehidupan tersebut, bagaimana mungkin ia dapat hidup hingga ratusan tahun sampai saat ini?
Benar, di awal-awal nasionalisme Eropa, sahabat karib Karl Marx sekaligus rekan sesama penulis “Communist Manifesto”, Friedrich Engels, bilang bahwa negara bangsa—buah paling nyata dari nasionalisme—akan ambyar. “Dan negara pun usai,”kata Engels. Kata yang dipakai dalam kumpulan polemiknya yang kemudian dikenal sebagai Anti-Dühring itu adalah ”Absterben des Staates”, yang umumnya diterjemahkan sebagai ”the withering away of the state”. Namun, hingga nyaris satu setengah abad dari pernyataan itu, kita melihat polisi, hakim, jaksa, birokrat, dan tentara—yang jamak kita sebut ASN– belum juga jadi barang kuno.
Nasionalisme atau semangat kebangsaan sejatinya secara intrinsilk sadar dan menghormati keberagaman. Ingatkah apa yang disebut bangsa oleh filsuf cum sejarahwan plus orientalis, Ernest Renan? Renan mendefinisikan bangsa sebagai entitas yang didasarkan pada tindakan kehendak bebas para individu yang membentuk identitas kolektif. “Bangsa adalah jiwa, prinsip spiritual. Dua hal, yang sebenarnya hanyalah satu, membentuk jiwa atau prinsip spiritual ini. Satu terletak di masa lalu, satu di masa sekarang,”kata dia. Artinya, bangsa adalah pula tempat bersama-sama meneruskan sebuah warisan agung di satu sisi dan hasrat untuk hidup bersama menempuh masa depan di sisi lain. Tekad untuk hidup bersama dan mewujudkan cita-cita bersama pula itulah yang menjadi tanda penghormatan atas keberagaman tersebut. Dalam era pascamodern, hal itu sebagaimana yang disebutkan Francis Fukuyama sebagai ‘trust’, yang menjadi pengikat sekaligus dasar pemersatu setiap individu dalam negara-bangsa.
Dihubungkan dengan ramainya pemberitaan seiring Anies Baswedan meninggalkan jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta, ada yang menurut saya menarik. Terasa benar ada kalangan yang sengaja meniupkan citra bahwa Anies adalah figur yang berpandangan eksklusif, ikon politik identitas—dengan menekankan sisi peyorasi alias sisi buruknya–, dan dengan demikian, seolah kalangan ini ingin benar menempelkan lakban besar bertuliskan “anti-keberagaman” kepada Anies.
Tentu saja Anies tidak harus membalas semua itu secara verbal. Rekam jejak, baik runutan kinerja maupun riwayat hidupnya, justru menafikan semua tudingan itu.
Meski ditarik-tarik untuk menimbulkan nuansa kedekatan dengan HTI, FPI dan beragam ormas Islam yang tampaknya di-“persona non grata” kelompok ini, Anies terlalu moderat untuk dianggap sebagai “fundamentalis kanan”. Berpendidikan negara kapitalis Amerika Serikat, sempat menjabat rektor Universitas Paramadina yang bernuansakan Islam moderat ala Nurcholis Madjid, mendekatkan atau malah mencoba merekatkan citra Islam fundamentalis kepada Anies adalah pekerjaan menggantang asap.
Dari sisi pemikirannya yang mencuat ke publik selama ini, khalayak melihat Anies adalah seseorang yang memahami bahwa dasar ontologis Pancasila adalah kehendak mencari titik temu dalam menghadirkan kemaslahatan dan kebahagiaan bersama (al-maslahatul al-ammah, bonnum comune) dalam suatu masyarakat bangsa kita yang majemuk. Ia adalah generasi yang dibesarkan dalam setidaknya tiga kali Penataran Eka Prasetya Pancakarsa (P4), yang boleh jadi masih mengingat ke-36 butir Pancasila seluruhnya.
Anies adalah cendekia yang pasti membaca betapa terjal jalan yang ditempuh para pendahulu bangsa hingga terbangun sebuah Indonesia. Ia pasti mengerti, mengapa pada 1 Juni 1945 itu Bung Karno, dengan kalimat lantang namun menyiratkan kuatir, menyebut perlunya mencari satu pandangan hidup, filsafat atau Weltanschauung, yang ”Kita semua setujui”. “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu ”Weltanschauung” yang kita semua setujui. Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanusi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setujui….”, kata Bung Karno, saat itu. Anies tahu, karena Indonesia mendapatkan filsafat itu dengan perjuangan berat, maka tak ada opsi lain kecuali memegangnya erat-erat.
Tentu, karena semangat jaman (Zeitgeist) yang berbeda, dia bukanlah Suwardi Suryaningrat, pemuda yang saat berusia 14 tahun menulis di koran berbahasa Belanda, mengecam pemerintah kolonial yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari kekuasaan Prancis. Soewardi, yang mengandaikan diri sebagai seorang Belanda dalam artikel berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” itu berkata,”Aku tak akan membuat pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas kemerdekaannya.” Suwardi dalam artikel itu juga mengatakan,”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah airnya, juga aku mencintai tanah airku….” Di usia 14 tahun itu, pemuda Suwardi diasingkan ke Belanda.
Tetapi, sesuai semangat zamannya sendiri, di usia muda, saat SMA, Anies telah mengampu sebuah acara bernafaskan rasa cinta akan Tanah Air di Stasiun TVRI Yogyakarta. Pada program acara bertajuk “Tanah Merdeka” tersebut, Anies, dengan setelan serba putih berdasi merah, serta rambut tebal keriting, memandu acara yang bernafaskan cinta tanah air tersebut. Sebagai seorang pemuda, tentu saja pada acara itu pun sejatinya Anies menempa dirinya pula. Menempa keyakinan akan keagungan cinta akan Tanah Air yang diperoleh tidak melalui pemberian gratis, melainkan darah dan nyawa para syuhada sepanjang perjalanan waktu.
Yang jelas, Anies pasti sadar bahwa kecintaan akan Tanah Air itu harus ditanamkan sejak awal, sebagaimana dicontohkan presiden pertama, Bung Karno. Ada foto terkenal Ketika Presiden Soekarno berkunjung ke AS di tahun 1956. Di depan patung besar Lincoln, dua sosok tubuh tampak dari belakang: yang satu seorang bapak, yang lain seorang anak. Bapak itu adalah Bung Karno. Anak itu Guntur. Seraya merangkul sang anak, agaknya Sang Bapak tengah berkisah tentang kebesaran tokoh sejarah yang diabadikan di hadapan mereka. Benar, seperti dalam “Recollections of an Indonesian Diplomat in The Sukarno Era”, Bung Karno memang datang ke sana bukan sebagai turis. Beliau berziarah.
Semua itu jelas membekas dalam jejak Anies kemudian. Di masa kepemimpinannya, Jakarta benar-benar menjadi rumah bagi semua umat beragama. Tidak hanya masjid dan mushala yang disinggahinya, Anies juga kerap bertandang ke biara, pura dan gereja pada saat-saat yang semestinya. Di masa kepemimpinanya pula Jakarta mengenal dana hibah Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI) yang dimulai pada 2019. Program tersebut bertujuan meningkatkan manfaat tempat ibadah berbagai agama. Besaran dana hibah BOTI untuk tempat ibadah besar seperti masjid, gereja, pura, dan vihara sejumlah Rp 2 juta per bulan. Sementara, untuk tempat ibadah sedang, seperti mushola, sebesar Rp 1 juta per bulan. Ada pula dana insentif untuk penjaga tempat-tempat ibadah, seperti marbot, imam musala, pengurus gereja, vihara, dan pura, sebesar Rp 500 ribu per bulan.
Sejak tahun 2019 hingga 2022, pemerintah DKI telah menyalurkan Rp 439 miliar BOTI, dengan penerima 80 persen dari total tempat ibadah semua agama di Jakarta. Dalam catatan kami, selama empat tahun terakhir, ada 5.200 masjid dan musala, 1.379 gereja, 29 vihara, dan 15 pura, kuil telah menerima BOTI yang digunakan membiayai kegiatan oprasional mereka.
Jangan lupa, demi menghadirkan toleransi dan keadilan sosial bagi seluruh warga dalam semua agama, di masa Anies pun dibangun rumah ibadah untuk umat Hindu Tamil yang berada di Jalan Bedugul, Kalideres, Jakarta Barat.
“Bagi gereja kecil seperti kami untuk mendapatkan bantuan cukup suliit. Pemanfaatan dana BOTI ini kami gunakan untuk kebersihan, seperti membeli alat-alat kebersihan, sabun cuci tangan, dan menyediakan masker,”kata Pemuka Gereja Kristen Maranatha Indonesia (GKMI) Shekinah Glory Family, Pendeta Kosta Rante.
Sementara Pandita Majelis Budhayana Indonesia, Hendri Nuraida, mengungkapkan bahwa selama bertahun-tahun baru kali ini merasa diperhatikan pemerintah. Hendri menekankan, pihaknya tidak pernah menilai jumlah BOTI, namun bangga karena Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies bisa hadir untuk umatnya. “Lebih dari 30 tahun saya sebagai Pandita agama Budha. Saya senang, karena selama ini tidak ada bantuan. Harus dari kantong sendiri. Jadi pas dapat BOTI, seperti ada perhatian dari pemerintah. Kami bangga sekali. Bukan nilainya, tapi rasa bangganya, karena ada perhatian dari pemerintah,”kata Hendri.
Semoga dengan semua pengalaman itu, Anies bisa meneladani “Bapak Nasionalisme Indonesia”, Bung Karno, yang kepada Kongres AS saat itu bisa bicara blak-blakan dan terbuka. ”Bagi kami, dari Asia dan Afrika,”kata Bung Karno,”Nasionalisme adalah sumber utama ikhtiar kami. Mengertilah ini agar Anda memperoleh kunci di sebagian besar sejarah. Bila Anda gagal mengertinya, maka betapapun banyaknya pikiran yang dikerahkan, betapapun lebatnya kata-kata diucapkan, dan betapa derasnya pun Niagara dolar dicurahkan, hasilnya hanya akan berupa rasa pahit dan kecewa.”
Anies punya potensi untuk semua itu. Sebagai cendekia, ia bahkan punya peluang menjadi pemimpin plus cendekia, pemimpin yang tak akan hanya bisa berkata,”Pokoknya!” Peluangnya besar untuk menjadi laiknya Maharaja Chandragupta Maurya, yang diabadikan kitab kenegaraan terkenal, “Arthasastra” karya Kautilya alias Vishnugupta. Konon, pada sekitar 300 tahun sebelum Masehi itu, Chandragupta biasa mengirimkan spion-spionnya ke kalangan penduduk. Bukan buat memata-matai. Mereka menyusup ke dalam kelompok orang-orang justru untuk menerbitkan debat dan diskusi tentang masalah-masalah kenegaraan. Pendapat warga digalakkan, untuk didengar, sebab sang raja tidak ingin memilih kesepian yang bisa membuatnya jatuh pada kesalahan.
Kita tahu, kekuasaan, apalagi kekuasaan yang tinggi, sejatinya tempat yang terasing dan sepi. Padahal, tak ada seorang manusia pun yang sanggup didera sunyi. Ada sajak John Donne yang terkenal: ”No man is an island….” Tak seorang pun (bisa) bersendiri, seperti pulau yang bersendiri. [ ]